Rabu, September 15, 2010

Bisnis Negeri Dongeng


"Mana Negeri pesananku, kawan?" seorang pria paruh baya berbadan buncit tergesa-gesa menghampiriku. Wajahnya sumringah seperti penjudi menang lotre.
"Mana negeri dongeng pesananku? Bukankah sudah setengah tahun aku memesannya? Ayolah kawan, aku sudah tak sanggup lagi menunggu! Aku takut ajal keburu merengkuhku sebelum aku mendapatkan negeri dongeng itu! Kau tahu kan kawan, aku sudah membayarmu dengan tiga tahun uang pensiunku hanya untuk menikmati kehidupan senjaku di negeri dongeng itu! Aku sudah bosan disini! Disini orang sepertiku yang banyak menghayal, bisa-bisa mati karena hayalanku sendiri. Kau dan bahkan orang tuamu tahu benar bahwa aku ini penghayal akut yang tidak akan pernah bisa hidup tanpa menghayal.
Nah, celakanya, disini, di negeri ini, penghayal payah seperti aku ini dianggap gila! Ya, gila kawan! Apakah mereka lupa bahwa Einstein, Faraday, James Watt, dan orang-orang yang menjadi aktor utama di setiap buku pelajaran fisika itu awalnya seorang penghayal? Ah, mereka mungkin pura-pura tidak tahu, karena mereka itu pengecut. mereka itu pecundang yang tidak mempunyai keberanian untuk menghayal. Mungkin mereka takut gila! Padahal kegilaan adalah darah yang mengalir pada diri mereka. Tapi mereka tidak tahu, atau mungkin sengaja tidak mau tahu.
Kawan, mana negeri dongeng yang kupesan itu? Kau tahu, di negeri dongeng yang kupesan itu, penghayal tua dan peyot seperti aku, yang dianggap sampah di negeri ini, bisa-bisa menjadi presiden disana. Ya, setidaknya jadi lurah, atau cukup wakil ketua majlis taklim lah.
Maka dari itu, mana negeri dongeng yang kupesan lengkap dengan mesin pembaca pikiran yang mampu mendeskripsikan hayalan seseorang, sehingga kita tak banyak berburuk sangka pada setiap orang.
Mesin itu bukan mesin tua peninggalan penjajah yang sudah usang seperti mesin-mesin andalan di negeri ini yang merupakan sisa penjajah.
Mesin pembaca pikiran itu, sebagaimana yang kau tahu, kawan, adalah hasil karya sang penghayal. Ya, mesin itu adalah maha karya dari seorang penghayal yang hanya menjadi sampah di Negeri taik kucing ini!
Ayolah kawan, mana negeri pesananku itu? Jauh-jauh hari aku sudah siapkan passport.
Aku percaya padamu, karena aku tahu, pak Sarjo, yang dulu memesan negeri damai padamu, kini hidup bahagia disana. Aku ingin seperti pak Sarjo. Atau Romlah yang sekarang hidup bahagia di negeri anti korupsi, Minar dan suaminya yang sekarang hidup damai di negeri tanpa kata, samsul dan keluarganya yang adem ayem di negeri kapas, atau Karyono yang menikmati masa tuanya di negeri tanpa keriput, Parman dan selingkuhannya yang sukses di negeri tanpa teroris, Jarkum di negeri perawan, Tukiyem di negeri tanpa janji, Michele di negeri mimpi, Ismet di Negeri Maksiat, Jarkum di negeri Jujur, Markonah di Negeri Pemalas, Toto di negeri seni, Kristi di negeri judi dan Robert di negeri ide.
Aku tahu mereka membeli negeri-negeri itu darimu kawan, maka sekarang mana negeri pesananku? Mana? Jangan sampai kau biarkan aku membeli negeri yang kuinginkan itu pada calo penjual negeri karena bosan menunggumu!
Ayolah kawan, mana negeri pesananku?"
Kemudian aku mengeluarkan brosur dalam tas kusutku yang bau, dan mulai menjelaskan isi brosur norak itu,
"Barda kawanku, negeri dongeng sedang tak ada stok, bagaimana kalau negeri ini saja?" Aku serahkan brosur warna-warni itu, pada kawan tua ku, Barda.
"Negeri gemah ripah loh jinawi?" Barda membaca nama negeri dalam brosur itu.
"Okey. Asalkan nama negerinya bukan sekedar slogan, ya kawan"
Aku mengangguk tipis dengan jutaan rasa pesimis dan keraguan yang membebani kepalaku yang botak. Tapi tak apalah yang penting bisnis jualan negeriku lancar...


Baca Selengkapnya......

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com