Rabu, November 09, 2011

P E L A N G I T


Oleh Ipung Araffa

(Juara Harapan LMCR 2011 dan salah satu Cerpen dalam Buku Antologi LMCR 2011)



Seorang pria bersayap keemasan menghampiriku dengan tergesa. Wajahnya pucat penuh iba. Tangannya gemetar menakutkan. Dan giginya gemelutuk seperti orang kedinginan. Dengan matanya yang sayu dia menatapku sedalam nyanyian sufi yang menembus batas-batas cinta.

“Benarkah kau seseorang yang disebut-sebut oleh penduduk langit sebagai seorang penyair, wahai anak muda?”. Pria itu bertanya seperti orang kesurupan dengan getaran tangannya yang semakin tak bisa dikendalikan. Atau matanya yang nanar menusuk mata, hidung, tenggorokan hingga ujung kakiku.

Badanku ikut gemetar. Aku ketakutan.

“Ooooo.. Sungguh tak bisa ku percaya, selebritis dunia langit ini kini ku temui. Tak kah kau tahu anak muda? Para pelangit di negeri langit sana, banyak memperbincangkanmu. Semua acara infotainment negeri langit membahas gosip-gosip tentangmu, buku-buku mencetak biografimu. Catatan sejarah mencatat kehidupanmu. Obrolan-obrolan ringan di warung kopi menjelma menjadi seminar akbar yang mempresentasikan karya-karyamu. Penyair-penyair kacangan dunia langit banyak yang menjiplak maha karyamu. Puisi-puisimu menjadi bahan kajian para ilmuwan dan sastrawan penduduk langit. Wajahmu juga menghiasi sampul-sampul majalah dan baligo-baligo terbesar di seluruh pelosok kota langit. Para paparazzi pelangit tanpa kau sadari banyak mencuri gambar wajahmu, sepanjang pagi, siang, petang. Pada malam hari kau menjadi bahan breaking news dan menghiasi headline koran-koran terkemuka. Lagu-lagu pujaan terhadapmu selalu menempati urutan pertama dari deretan tangga lagu bergengsi. Film-film dan sinetron meniru alur hidupmu. Entah ada berapa nama jalan yang mengabadikan namamu.Para orang tua pun ikut-ikutan menamai bayi mereka yang baru lahir dengan namamu. Kau sungguh terkenal di antara penduduk langit, wahai anak muda. Sungguh!”

Dalam degupan jantung yang mentremorkan seluruh tubuhku, aku masih diam. Kali ini terheran-heran.

“Tak kah kau percaya, wahai anak muda? Sungguh, aku tak berdusta!”

Pria bersayap itu mengangkat kedua telapak tangannya ke arah langit. “Ooooo… Sungguh akan aku buktikan kebenaran kata-kataku ini anak muda. Akan kutunjukkan kehidupan langit yang mengagung-agungkanmu. Akan kubuktikan kebenaran para pelangit yang memuja-mujamu.”

Pria itu masih menatapku, kali ini dengan mata berbinar. Badanku semakin menciut ketakutan.

“Anak muda, akan ku lepas sebelah sayapku dan kupasang di punggung kirimu, lalu kita berpelukan sehingga sayap di punggung kananku dan di punggung kirimu mengepak-epak membawa kita terbang”.

Pria bersayap itu melepas sayap emas berkilauan di punggung kirinya. Terlihat beberapa bulu sayap yang berupa cahaya itu rontok saat sebuah hentakkan keras melepas tulang sayap dari punggung kiri pria itu. Ia tampak kesakitan, namun buru-buru bersikap biasa.

“Berikan punggung kirimu padaku wahai anak muda!” Sambil menyeringai menahan sakit, pria itu memutar tubuhku sehingga badanku berbalik arah membelakanginya.

Dalam hitungan detik sebuah hentakkan di punggung kiriku mampu mengguncang badan kurusku yang kerempeng.

Sejurus kemudian tulang punggungku terasa ngilu dan ubun-ubunku serasa meledak. Punggungku terasa panas dan kulitnya meleleh ditembus semacam tulang rawan dari pangkal sayap emas itu. Ya, pria sialan itu menancapkan sayap kirinya pada dinding punggungku yang kini meleleh. Punggungku serasa tersiram minyak goreng panas bersuhu tiga ratus derajat celcius.

Sekuat tenaga aku berteriak. Air mataku berhamburan menahan sakit. Kulitku melepuh. Bau daging terbakar yang seketika tercium itu tampaknya berasal dari daging punggungku yang kini setengah matang. Panas. Punggungku tampaknya terbakar hebat. Tapi tak ada api. Hanya sebilah sayap berkilauan yang cahayanya menyembur, mencakar-cakar mataku yang masih menangis kesakitan.

Pria itu menepuk pundakku, “Sudah selesai anak muda! Sekarang kau punya satu sayap, begitu juga aku. Maka kita akan bisa terbang hanya jika kita berpelukan. Untuk itu, rentangkanlah tanganmu wahai anak muda, lalu sayap kita akan menapaki tangga udara hingga mencapai negeri langit!”

Aku masih menyeringai menahan rasa sakit. Sisa-sisa panas di kulit punggungku masih terasa, ngilu di tulang punggungku juga masih merangkak di sepanjang tulang. Dan kepalaku masih pening. Tiba-tiba pria itu memeluk tubuhku dengan erat. Sial. Tubuh pria itu begitu dingin. Seperti es. Wajahku yang merah seketika berubah ungu. Sayapku mulai bergerak. Ajaib. Sayap yang menyilaukan mataku itu bergerak dengan sendirinya. Terkibas-kibas sehingga debu-debu dekat kaki kiriku beterbangan.

Dan… Ya ampun. Kakiku terangkat. Aku terbang. Aku terbang. Sandal jepitku yang butut hampir saja terlepas, saat kakiku mulai meninggalkan tanah. Untung jari-jariku sigap mengapit sandal bauku itu.

Badanku dan badan pria bersayap itu turun naik setiap kali sayap kami berkepak. Setiap kepakan, sayap itu menaikkan tubuh kami ke atas sekitar satu setengah kaki. Luar biasa. Gravitasi bumi kini tak ada apa-apanya bagiku. Aku terbang. Sulit kupercaya. Aku terbang.

Aku melihat ke arah tanah. Cahaya sayapku yang tadi menggaruk-garuk tanah, kini mulai berpendar. Sementara bulu-bulunya yang juga terbuat dari cahaya semakin berkepak hebat. Semakin sayapku berkepak, semakin jauh kakiku meninggalkan tanah.

Angin mulai memukuli tubuhku. Beberapa kumpulan asap putih pun ku tembus dengan meninggalkan rasa dingin yang menggerogot tulang. Tapi matahari masih memanggang kulit kepalaku sehingga bau rambutku yang sudah satu minggu tidak keramas menyengat hidungku. Kujatuhkan pandangan ke bawah sandal jepitku. Aku seperti melihat hamparan peta besar yang berbentuk cembung. Lalu tiba-tiba beberapa menit kemudian pandanganku mengabur. Nafasku tersengal. Hidungku panas. Paru-paruku kehabisan oksigen. Sial. Aku tak bisa bernafas. Tubuhku meronta-ronta meminta oksigen. Posisi terbang kami oleng. Pria itu kewalahan mempertahankan keseimbangan. Dalam hitungan detik pandanganku menggelap dan aku tak bisa melihat apa-apa. Otakku tak bisa berpikir. Bahkan hayalanku luntur seketika, menguap diantara cakaran-cakaran lapisan bumi yang satu per satu kutembus. Dan… ah aku tak ingat lagi.



*



“Eh dia sadar…!”

Kudengar suara seseorang dengan logat yang aneh ketika mataku mulai terbuka. Sebuah logat yang tak pernah kudengar di bumi.Pandanganku perlahan mulai menjelas dan menangkap puluhan tubuh kekar bersayap cahaya yang menyilaukan mengelilingiku. Dalam hati aku bertanya, apakah mereka yang disebut malaikat? Wajah mereka seperti bintang film: putih, bersih, bercahaya dan seperti habis facial.

Beberapa di antara mereka saling berbisik satu sama lain dengan pandangan terarah padaku, ada juga yang berkali-kali mengabadikanku dengan kamera foto telepon genggamnya. Aku selebritis. Ya, aku seperti selebritis, apalagi ketika salah satu di antara mereka ada yang menyorotkan kamera video Panasonic MD 10000 ke arahku, semakin membuat aku bangga. Ibu dan kelompok arisannya yang tak bisa lepas dari acara gosip pasti akan sangat bangga melihat aku ada di televisi. Mantan pacarku yang berengsek pasti akan menyesal telah selingkuh, setelah dia tahu bahwa aku sekarang menjadi seorang selebritis. Selebritis. SE…LE…BRITIS… hahahahahaha… Aku selebritis.

“Bagaimana anak muda? Kau sudah baikan?” Pria bersayap satu yang tadi mengajakku terbang itu menghampiriku. Sayapnya masih satu, padahal sayapnya yang ia pinjamkan sudah tak ada di punggung kiriku.

“Hmm…” Pria bersayap satu itu memberi isyarat agar kerumunan orang bersayap yang mengelilingiku segera keluar ruangan.

Lalu dengan tertib orang-orang bersayap menyilaukan itu membubarkan diri. Mereka keluar ruangan dengan binar mata bahagia yang masih terpaku memandangiku. Oh, aku benar-benar menjadi pujaan mereka. Aku selebritis mereka.

“Kami adalah Pelangit, sebuah makhluk yang tercipta dari manusia yang termutasi”. Pria bersayap satu itu mulai menjelaskan setelah ruangan benar-benar kosong dari orang-orang bersayap menyilaukan dan hanya ada aku dan dia.

“Pelangit?”

“Ya, Pelangit. Kami adalah mutan yang termutasi bukan karena radiasi, tekhnologi atau semacamnya. Kami termutasi karena hati dan pikiran kami. Menurut sejarah, dulu moyang kami adalah manusia yang sudah jengah dengan manusia kebanyakan yang hobinya membuat Tuhan palsu. Tuhan-tuhan tandingan yang mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Tuhannya yang sesungguhnya. Tuhan dalam berbagai bentuk. Tuhan dalam bentuk manusia, uang, kuasa dan cinta. Maka moyang kami banyak menyendiri. Menjauhkan diri dari manusia-manusia itu. Pikiran moyang kami yang ingin lepas dari manusia-manusia pembuat Tuhan palsu telah memutasi tubuh mereka menjadi semacam manusia bersayap cahaya. Lalu karena sudah tak tahan hidup di bumi, maka moyang kami mencari tempat baru, dan di sinilah tempat baru kami: Negeri Langit”.

“Omong kosong! Aku yakin, kau tak lebih dari seorang pembual!”. Aku bangkit dari tidurku.

“Bukankah aku sudah membuktikan kebenaran negeri langit yang mengagung-agungkanmu? Tidakkah itu cukup menjadi bukti bahwa aku bukan pembual?”

“Tapi ceritamu tentang pelangit, manusia yang termutasi itu tak masuk akal!”

“Lalu apakah masuk akal sayap cahaya yang kupinjamkan padamu? Apakah masuk akal saat kau kuajak terbang menembus lapisan-lapisan atmosfer bumi? Atau apakah masuk akal negeri langit yang kini kau berdiri di dalamnya?”

Aku diam. Tak mampu menjawab. Tak berkutik. Seperti pengecut, atau penyair tolol yang tak bisa berucap. Aku tak mengerti kenapa penyair tolol sepertiku mempunyai banyak penggemar dan menjadi idola di negeri ini. Semua ini memang tak masuk akal. Sungguh tak masuk akal. Semua ini adalah lelucon yang tak bisa terjelaskan dengan logika. Ataukah akalku memang reyot, yang tak mampu menjangkau kesungguhan yang nyata? Entahlah.

Lelaki sial itu kemudian mendekatiku. Senyumnya semakin menyebalkan.

“Kau ingin memiliki sayap seperti kami, anak muda?”. Dia berbisik. Bibirnya hampir saja menyentuh telinga kananku. Ah, menjijikkan. Aku meliriknya. “Kau bisa memiliki sayap seperti kami. Sayap kami tak seperti sayap malaikat, peri atau manusia bersayap seperti yang sering kalian ceritakan pada anak-anak kalian dalam dongeng murahan. Sayap kami bukanlah sayap angsa putih yang indah. Bukan juga sayap garuda yang gagah. Sayap kami hanya terbuat dari cahaya keemasan yang cukup sederhana. Cahaya yang tak bisa terjelaskan oleh hayalan kalian, manusia tengik”.

Aku tertunduk. Kali ini aku merasa lebih dari seorang pengecut.

“Kau akan terlihat gagah dengan sayap cahaya yang membentang di balik punggungmu. Akan lebih banyak pelangit yang memujamu. Kau akan semakin terkenal, anak muda. Percayalah!”

“Apa yang harus aku lakukan untuk dapat memiliki sayap cahaya itu?”

Pria itu mengembangkan senyum paling menjijikkan yang pernah kulihat. Sebuah senyum kemenangan.

“Oooooo… Wahai selebritis Negeri Langit yang kupuja, kau sungguh pemuda beruntung. Kau akan memiliki dua bilah sayap cahaya yang akan menyilaukan mata gadis-gadis pelangit yang perawan. Sungguh kaulah pemuda beruntung, hai anak muda!”

Cerewet sekali lelaki sial itu. Aku semakin tak sabar memiliki sayap itu.

“Untuk dapat memiliki sayap cahaya agung ini, kau hanya tinggal merelakan gendang telinga kananmu, bola mata kananmu, dan ujung lidahmu untuk kami rebus. Kemudian kau minum tiga perempat air rebusannya, maka dalam waktu tiga puluh empat hari, sayap cahaya itu akan tumbuh dari balik punggungmu. Lalu seperempat air rebusan sisanya, kau siramkan pada wajahmu yang berjerawat itu, maka wajahmu akan bercahaya seperti habis facial. Dan, kau akan dipuja-puja sebagai selebritis negeri langit yang tampan nan gagah, anak muda! Sungguh kenikmatan yang tak terbayangkan”.

“Hmmm…” Aku tersenyum kesat. “Aku setuju!” Jawabku penuh kemenangan. Sebuah kemenangan bagi umat manusia atas makhluk bernama pelangit.

Pria sialan itu kembali tersenyum. Sebuah senyum yang menurutnya sebagai senyum yang mewakili kemenangan pelangit atas manusia. Tapi bagiku, ini adalah kemenanganku. Kemenangan manusia, karena mereka akan termakan kata-kata mereka sendiri. Tanpa disadari, mereka akan membuat Tuhan palsu, tuhan dalam bentuk manusia, karena mereka memujaku.*



Jakarta, 18 Mei 2011



cerpen ini diposting juga di

http://lmcr.rayakultura.net/blog/pelangit/

Baca Selengkapnya......

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com