Senin, Desember 19, 2011

Jeruji Hujan


Juara 1 Event FF Kerabat Sang Penulis Amatir


Duh, terbuat dari apakah hatiku ini? Tega menjatuhkan luka. Menggaruk wajahmu yang menyisa tangguh. Mencakar pori-porimu, lalu menusukkan dingin yang teramat bangsat. Kupenjarakan kau dan tujuh kerabatmu di balik jeruji yang kucipta dari air bening sewarna cermin.

Ya, kau tahu benar siapa aku bukan? Akulah hujan. Bukankah dulu kau sering merasukkan tubuh...ku ke dalam puisi-puisimu? Ke dalam sajak-sajakmu, juga roman dan cerita pendekmu? Lalu kini, aku menyiksamu. Duh, terbuat dari apakah hatiku ini?

"Ayo kawan, jangan menyerah!" Teriakmu fasih. Hampir saja teriakanmu membelah tubuhku. Tapi aku terlampau kuat. Kutubrukkan badanku, mengoyak atap tenda kemah yang sedang kau dirikan. Aku pun terpental. Limbung menghujam tanah. Ah, aku membuat sepatu bututmu semakin kumuh, terolesi tanah basah yang melumpur.

Aku tak habis pikir, mengapa kau dan tujuh pandu tangguh itu, tak juga membenciku. Padahal aku sudah menusuk kepala kalian dengan air serupa jarum yang ditumpahkan awan-awan bringas. Mengikat tubuh kalian dengan gigitan dingin yang pasi. Dan mengklimiskan jambulmu yang dulu menawan.

Lalu, kekasihku, petir, menyalak menebar teror. Mengaum menyambar ujung janur kelapa. Sekutuku, angin telah meninju dadamu hingga sesak menyiksa. Dan tanah yang menjelma lumpur, mengubur kakimu, sehingga kau serupa patung bernyawa. Tak bergerak. Ah, tak juga kau membenciku.


Hizbul Wathan, begitu kau kibarkan panji gagah menantang kebrutalanku. Teriakan "Allahuakbar," membahana, menusuk-nusuk telingaku. Meluluhkan kesombonganku. Tubuhku seketika bergetar. Tremor. Guncang. Tapi tak henti kutampar wajahmu memerah. Kau tak juga membenciku?

"Hujan, takkan mampu meremukkan tulang kita, kawan!" Sulut salah satu kerabatmu, "Bukankah hujan adalah anugerah?"

Hei! Apa-apaan ini? Ketika kebanyakan makhluk dari golongan kalian menamaiku musibah, kenapa kalian menyebutku anugerah? Bukankah aku sudah menyiksamu? Mengurungmu dengan jeruji tubuhku yang bening sewarna beling? Duh, terbuat dari apakah hatiku ini?

Maafkan aku, Prakoso! Sampaikan juga maafku untuk tujuh kerabat tangguhmu! Aku terpaksa memenjarakanmu. Menggaruk wajahmu yang tak menyerah. Kau tahu kenapa? Karena pawang hujan mengirimku kesini. Ia mengusirku dari tempatnya. Bedebah memang dia itu. Keparat! Tapi tak apa. Dengan begitu aku bisa melihat wajahmu dan tujuh kerabatmu yang tangguh.

Ah, jika saja aku manusia, sudah kunikahi kalian, Kerabat.



Jumlah kata : 333
*Ipung Arraffa

Thanks to HW Prakoso, Sang Penulis Amatir, d'Kerabat



Baca Selengkapnya......

Kamis, Desember 08, 2011

Rindu yang Bersenyawa


Oleh Ipung Arraffa
(Flash Fiction terbaik sekaligus pemenang event FF with Komunitas Penulis Fiksi bulan November)


Kali ini aku kulai. Mungkin karena rindu. Atau menyepah raga. Sedang kau menangis. Kataku, kau adalah rindu, yang menabur nyawa.

Anakku, ini ibu, nak. Takkah kau tahu? Ibu merindumu.

Kau tetap menangis. Kenapa? Apakah karena kau tak mengenalku? Duh, anakku, ini ibu, nak. Sungguh. Ini ibu.

Jika kau tak percaya, akan kuberi bukti : ini ari-arimu masih menggantung di pintu rahimku. Darah dan nanah yang mengering, menggetah di selangkanganku. Keringat yang menjadi garam. Semua itu bukti, nak. Bahwa aku ibumu. Sungguh. Aku tak berdusta.

Tak adakah ayah bercerita tentang ibu? Padamu? Ah, ibu lupa, anakku. Ibu lupa bahwa kau tak punya ayah. Entah siapa ayahmu. Ibu tak tahu. Yang pasti, ia hanyalah lelaki bejat langgananku. Pemuja nafsu yang entah dimana adanya.


Lalu kau memandang geram ke arahku. Apakah kau marah? Tak percaya?

Baiklah. Terpaksa kutunjukkan bukti terakhir : Rindu.

Kubawakan rindu ini padamu. Rindu seorang perempuan bernama ibu. Rindu yang kuselipkan di ujung surga yang terbentang di bawah telapak kakiku. Jangan salah! Meskipun ibu pelacur, tapi ibu miliki surga untukmu. Surga penyelip rindu. Inilah rindu yang hanya dimiliki seorang ibu untuk anaknya. Rindu yang bersenyawa.

Kau tahu kenapa rindu ini bisa tercipta? Karena ibu rindu menyusuimu. Dulu, ibu belum sempat menyusuimu, nak. Kau tahu kenapa? Karena ibu keburu mati.

Ya, ibu mati beberapa detik setelah melahirkanmu. Makanya ibu gentayangan, membawa rindu. Untukmu.



Penulis : Ipung Arraffa
Judul : Rindu yang Bersenyawa
Jumlah kata : 222 (tidak termasuk judul)

Teruntuk Ibu

http://komunitaspenulisfiksi.blogspot.com/2011/12/pemenang-event-flash-fiction-with-kpf.html

Baca Selengkapnya......

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com