Kamis, Januari 22, 2009

Gadis itu bernama Kazumi Shimazaki

"Maukah kau membantu melipat gerimis itu untukku?" Pinta seorang gadis yang sejak tadi duduk kaku di sebelah kiriku setelah beberapa menit kami saling diam. Aku yang dari tadi tak berani menatapnya, kini tak segan menangkap wajah ovalnya yang terbingkis jilbab biru itu kedalam mataku. Amboi, kulitnya putih sekali, mulus mengalahkan model iklan sabun mandi GIV. Bahkan tak adil jika harus kubandingkan gadis itu dengan gadis-gadis di desaku yang kulitnya berhiaskan koreng, panu, kudis, kurap, buduk, atau sisa-sisa jerawat yang melubangi wajahnya.
Atau lihatlah hidung gadis berjilbab itu yang mirip perosotan anak TK: rendah pada pangkal hidung kemudian mancung di bagian ujungnya. Seperti hidung orang-orang belanda. Berbeda dengan gadis-gadis di desaku yang lubang hidungnya saja mengkhawatirkan -- menganga menghadap langit, sehingga air hujan sewaktu-waktu bisa masuk kedalam hidungnya.
Tapi dari bentuk mata gadis berjilbab itu yang sulit melotot, aku tahu dia seorang chinese.
Assumsiku bahwa dia seorang chinese semakin bulat ketika kubaca beberapa barisan huruf pada ID card yang terkalung di lehernya: Kazumi Shimazaki, Marketing Eksekutif.
"Bantu aku melipat gerimis itu!" Gadis itu mulai tampak memohon. Aku palingkan pandanganku dari wajah sendu gadis itu menuju hujaman gerimis yang membentuk pagar-pagar air di hadapanku. Warnanya berkilauan seperti jarum-jarum panjang yang sengaja ditusukkan langit ke bumi. Beberapa jarum air itu menusuki atap-atap mobil yang sombong, kulit-kulit payung orang yang berlalulalang dan sebagian lagi menghujam tanah, aspal, trotoar, helm, gedung dan atap halte penuh grafiti yang kini memayungi aku dan gadis itu. Suara hujaman gerimis di atas atap halte seperti bunyi perkusi yang bersahut-sahutan, mendendangkan irama cinta seorang sufi untuk Tuhannya.
"Gerimis sial!" umpat gadis chinese itu yang membuat mataku kembali menumpahkan pandangan ke wajah ovalnya. Kali ini dia berdiri gelisah.
Matanya terlihat resah memandangi jarum-jarum waktu dalam jam yang terlingkar di pergelangan tangannya.
"Ah, apakah doaku hanya sebatas kata-kata busuk seperti kata-kata yang sering aku dengar dari mulut para pembual sehingga Engkau tidak mengabulkan doaku, Tuhan? Padahal doa itu sudah kurangkai dengan kata-kata terindah yang tak pernah bisa ditulis oleh seorang pujangga. Padahal kata-katanya sudah kulengkapi dengan ungkapan-ungkapan dan peribahasa yang tak bisa diterjemahkan para penyair. Lalu kenapa Engkau tak mengabulkannya Tuhan? Apakah Kau sudah bosan dengan kata-kata kami? Sudah muak? Sudah jijik? Ah, aku tahu Engkau tak seperti itu, Tuhan. Lalu kenapa Engkau tak mengabulkan doaku? Padahal doaku cukup sederhana : aku hanya ingin hari ini tak ada gerimis. Itu saja. Lalu kenapa Kau turunkan gerimis itu Tuhan? Tadinya aku kira Engkau kirimkan pria di sampingku ini untuk membantuku melipat gerimis, tapi ternyata pria itu hanya kodok buduk yang tak sepandai aku dalam membuat kalimat terindah. Kau lihat Tuhan? Pria itu hanya diam. Hanya diam, Tuhan. Entah karna bisu atau karna mulutnya bau. Engkau yang lebih tahu, Tuhan. Pria itu tak lebih dari seekor bangkai kecoak tengik ya Tuhan?".
Gadis berengsek itu melirikku. Pandangannya menusuk ulu hatiku. Gadis sialan!
"Lalu apa, Tuhan? Apakah kata-kata hanya cukup menjadi sebuah simbol? Hanya pantas untuk sebuah slogan? Atau hanya sebuah pelengkap dari terciptanya lidah? Persetan dengan semua itu!"
Aku diam menahan tawa. Dalam hati aku bertanya, 'Apakah gadis itu cukup suci untuk sebuah pemberontakkan pada Tuhan?'

1 komentar:

Sayur Lodeh mengatakan...

Ya...jelas cukup suci untuk dirinya sendiri dan tuhan yang ada dalam pikirannya sendiri...

Posting Komentar

Kasih komen ya temans...
Untuk temans yg tidak punya blog atau account google, pada bagian "Beri komentar sebagai", pilih aja Name/Url. Nama nya ketik nama kamu, url nya isi almt web, atau kosongkan saja...

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com