Senin, Januari 19, 2009

Kado Ulang Tahun Untuk Neza

Sekali lagi pandanganku tidak bisa terlepas dari bingkisan berbentuk balok dengan hiasan pita merah muda di setiap sisinya yang masih tergeletak di atas meja belajarku. Beberapa sobekan kertas tampak berserakan di sekeliling bingkisan yang berukuran cukup besar itu. Sobekan kertas yang tadi sempat menjadi objek pelampiasan amarahku.
Ya, sobekan kertas itu sebenarnya berasal dari secarik surat yang aku temukan bersama bingkisan besar itu saat aku baru saja terbangun dari tidur. Memang, lupa mengunci pintu kamar adalah kebiasaan buruk yang tidak bisa aku hilangkan sehingga mungkin seseorang masuk ke kamarku secara diam-diam kemudian menyimpan bingkisan dan secarik surat itu di atas meja belajarku ketika aku pulas tertidur.
Setelah aku sadar bahwa tulisan di muka amplop itu adalah tulisan tangan ayah, dengan spontan aku merobek-robek surat itu sehingga menjadi sobekan-sobekan kecil tanpa sempat aku membaca isi dari surat itu. Aku tahu membenci ayah kandungku sendiri adalah kesalahan terbesar. Tapi aku tahu aku punya alasan yang jelas untuk itu. Alasan untuk aku membenci ayah.

Aku masih memeluk lututku sendiri sehingga tampak seperti menggigil di atas lantai dengan membiarkan salah satu dinding kamar menopang tubuhku yang mulai lunglai ketika tiba-tiba waktu mem-flashback-ku kembali ke peristiwa tadi malam yang sempat membuat aku merasa telah melakukan kesalahan terbesar sepanjang hidupku



“Ayah sudah tidak sayang Neza lagi!!” Teriakku tepat di hadapan sesosok lelaki berbadan bulat yang tadi tampak seperti menenggelamkan wajahnya di balik Koran sore yang sedang asyik dibacanya. Mata bulat yang bersarang di balik lensa kacamata pipihnya mengekspresikan kekagetan yang luar biasa. Aku mengerti. Seandainya aku berada pada posisi ayah saat itu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama—terbengong heran dengan mata melotot dan mulut ternganga lebar. Siapa yang tidak kaget, sedang asyik-asyiknya membaca Koran, tiba-tiba seseorang masuk rumah sambil ngomel-ngomel tanpa alasan yang jelas.

“Kemana saja ayah sepanjang hari ini? Neza tunggu sampe jam sembilan malam, tapi ayah belum pulang juga! Biasanya pulang jam lima sore, kan?” Omelku dengan nada tinggi dan terkesan datar.

“Kamu sendiri habis dari mana jam segini baru pulang?” Tanya ayah sambil perlahan melipat Koran sore yang tadi asyik dibacanya kemudian memeriksa jam yang melingkari batang lengan kirinya dan memperlihatkannya padaku, “Tuh lihat! Jam sebelas malam!”

“Neza abis dari rumah Anggie! Neza capek nungguin ayah! Empat jam Neza berharap ayah segera pulang sekedar nemuin Neza dan ngucapin…” Kata-kataku tampaknya mulai terpotong. Sepertinya nafasku mulai terasa sesak dan beberapa tetes mata mulai mendobrak kelopak mataku yang terkesan lelah. Kemudian aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan sebelum akhirnya melanjutkan, “Hmp… Udahlah! Mungkin memang Tante Dessy lebih berharga di mata ayah daripada Neza”

“Neza!!” Bentak ayah dengan memasang mata tajam yang seolah siap menusuk retina mataku.

“Loh? Terus apalagi kalo bukan Tante Dessy? Neza cuma mau bilang, kalo Tante Dessy itu ngga akan pernah bisa gantiin almarhumah Bunda! Buat Neza, Bunda hanya ada satu dan ngga akan pernah bisa digantiin siapapun, termasuk tante Dessy!!”

Bola mata ayah tampak bergerak-gerak ke berbagai sudut matanya. Dia masih terduduk kaku di atas sofa dengan pandangan yang tak tentu.

“Ayah pasti lupa kalo hari ini adalah hari Ulang tahun Neza kan?! Sepanjang hari ini, Neza nunggu ayah ngucapin Selamat Ulang tahun buat Neza! Tapi ternyata semuanya sia-sia aja! Ayah yang ada di hadapan Neza sekarang bukanlah ayah yang sembilan tahun lalu ngasih kebahagiaan buat Neza! Ayah udah berubah!” Kembali aku tidak bisa menahan air mata yang lagi-lagi menerobos kelopak mataku yang semakin lelah. Ya, aku memang terkenal sebagai gadis cengeng diantara sahabat-sahabatku. Tapi aku tahu, aku punya alasan jelas untuk semua itu.

“Ayah masih inget? Ayah masih inget waktu itu? 15 agustus sembilan tahun yang lalu? Setelah merengek berkali-kali, akhirnya ayah mengabulkan keinginan Neza untuk merayakan Ulang Tahun di pantai! Ayah tahu benar Neza begitu tergila-gila dengan laut! Berkali-kali ayah menakuti Neza dengan mengarang cerita bahwa di laut banyak berkeliaran Bajak Laut yang suka menculik anak-anak dengan harapan Neza mengurungkan niat untuk merayakan Ulang Tahun di pantai. Tapi Neza tidak takut sedikitpun. Neza tetap merengek, hingga akhirnya selasa pagi di hari Ulang Tahun Neza itu, Ayah, Bunda dan kak Naya benar-benar menghadiahkan laut buat Neza. Akhirnya pesta Ulang Tahun di pantai yang selalu menjadi impian Neza benar-benar terjadi. Meniup lilin, menyanyikan lagu Ulang Tahun dan memotong tar diantara suara ombak” Aku mulai memaksakan senyum. Senyum yang terkesan begitu kesat.

“Di tengah Pesta Ulang Tahun Neza, tiba-tiba ayah tertawa lebar dengan suara serak yang mengerikan sambil berbisik dengan suara berat ayah yang khas, ‘Aku adalah Bajak Laut!!’ Neza menjerit ketakutan dan berlari menghampiri bunda. Ayah terus saja mengejar Neza dengan tetap menutup mata sebelah kiri ayah dengan telapak tangan persis menirukan gaya Bajak Laut sambil tak hentinya tertawa mengerikan. Ayah akhirnya berhasil menangkap Neza dan melemparkan Neza ke tengah-tengah gulungan ombak. Begitu juga kak Naya dan Bunda, mereka tercebur oleh dorongan ayah. Sambil terawa lebar, Neza melempari ayah dengan pasir. Begitu juga dengan kak Naya yang berusaha menceburkan ayah sambil tak hentinya tertawa lepas. Bunda hanya menyirami ayah dengan air sambil sesekali menjerit menahan tawa.

“Hmp… dengan jelas Neza bisa melihat senyum ayah, Bunda dan kak Naya waktu itu. Seperti melihat kebahagiaan yang belum tentu dapat dilihat oleh setiap anak berusia tujuh tahun . Ya, Neza merasa bahwa Neza adalah anak berusia tujuh tahun yang paling merasa bahagia saat itu.

“Tapi apa ayah tahu apa yang Neza rasakan hari ini? Apa ayah tahu apa yang Neza rasakan di hari Ulang Tahun Neza sekarang? Apa ayah tahu kalo Neza yang sekarang ternyata bukanlah Neza yang sembilan tahun lalu melihat kebahagiaan di depan matanya? Ya, Neza yang sekarang bukanlah gadis berusia tujuh tahun yang sempat merasa dirinya paling bahagia seperti sembilan tahun silam. Apa ayah tahu kalau Neza merasa kehilangan semuanya? Kehilangan senyum ayah yang dengan semangat mengangkat tubuh Neza dan melemparkannya ke tengah-tengah gulungan ombak. Kehilangan senyum kak Naya yang tak hentinya berusaha menceburkan ayah ke dalam ombak padahal Neza tahu benar bahwa kak Naya begitu membenci sesuatu yang berasa asin. Kehilangan senyum kecil Bunda yang takut basah. Neza kehilangan semuanya. Semuaya Yah! Kehilangan semua kebahagiaan yang direnggut waktu!” Aku tidak bisa menahannya. Tiba-tiba aku berlari meninggalkan ayah yang masih terduduk kaku di atas sofa. Aku berlari menuju kamar, menutup pintu keras-keras dan menangis di balik bantal sebelum akhirnya waktu kembali mengembalikanku pada keadaan semula. Keadaan dimana aku tak bisa memalingkan pandanganku dari bingkisan berbentuk balok dengan hiasan pita merah muda di setiap sisinya yang masih tergeletak di atas meja belajarku. Beberapa sobekan kertas masih tampak berserakan di sekeliling bingkisan yang berukuran cukup besar itu.

Kali ini aku mulai mendekati bingkisan itu, kemudian perlahan membukanya dan kudapati sebuah miniatur kapal Bajak Laut di dalam bingkisan itu

Air mataku semakin tak bisa terbendung. Bahkan tak ada sesuatu pun yang sanggup menghentikannya. Perlahan aku mulai memaksakan senyumku, “Hmp… Bodoh! Darimana ayah dapatkan benda seperti ini! Mana ada toko yang buka sampai tengah malam!”

Tiba-tiba mataku terbelalak seperti sesuatu telah membukakan logika dalam otakku.

“Tengah malam? Oh iya! Kejadian kemarin itukan jam sebelas malam! Kalo memang benar ayah lupa hari Ulang Tahunku, berarti hanya ada satu kemungkinan…” Aku tampak memasang gaya detektif. Sambil mengerutkan kening dan memegang dagu, aku mulai berpikir layaknya Sherlock Holmes abad ini. “Ya, hanya ada satu kemungkinan, yaitu membeli kado Ulang Tahun setelah kejadian itu. Dengan kata lain ayah membeli kado ini pada tengah malam! Itu mustahil! Mana ada toko yang masih buka pada tengah malam! Jangan-jangan ayah memang tidak lupa hari Ulang Tahunku! Jangan-jangan kado ini sudah ada sebelum aku ngomel-ngomel! Ya, ayah pulang terlambat mungkin gara-gara nyari hadiah Ulang Tahun Buatku. Terus nyimpen kado ini waktu aku ke rumah Anggie. Oh iya! Kalo tidak salah setelah ngomel-ngomel itu aku bergegas ke kamar, menutup pintu keras-keras dan menagis di balik bantal hingga akhirnya tertidur ? Pantas saja aku tidak sadar bahwa di atas meja belajar sebenarnya sudah ada bingkisan ini ketika aku berlari, masuk kamar dan menangis di balik selimut. Tapi… Jika benar ayah tidak lupa hari Ulang Tahunku, kenapa dia tidak menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat seperti beberapa tahun terakhir ini? Ya setidaknya melalui SMS!” Aku mulai menahan tawa

“Bodoh!!” Kataku dalam hati

1 komentar:

nugu mengatakan...

kereend ... ^^ :o

Posting Komentar

Kasih komen ya temans...
Untuk temans yg tidak punya blog atau account google, pada bagian "Beri komentar sebagai", pilih aja Name/Url. Nama nya ketik nama kamu, url nya isi almt web, atau kosongkan saja...

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com