Senin, Januari 19, 2009

namaku_senja


Gila!!! Benar-benar gila!! 52 derajat celcius! Kepalaku rasanya akan meledak. Kulitku seperti akan menguap menjadi zat yang tak berbentuk. Aspal seolah menjadi danau lava yang membakar roda-roda kendaraan. Matahari telah berkobar ganas di ujung rambut kepalaku. Mencengkeram dan menusuki tempurung kepalaku tanpa ampun. Perlengkapan mandi dalam kantong plastik berlogo super market ternama dalam genggamanku rasanya ikut mencair. Padahal beberapa menit yang lalu kantong plastik itu didinginkan oleh AC-AC Depok Town Squere. Tapi sekarang panas tak keruan. Seperti aspal yang tampak mencair itu.Keringatku jatuh menghujam aspal panas yang terbentang sepanjang Jalan Margonda.
Bersama para pedestrian yang lain, aku melintasi kendaraan yang berlalu lalang tanpa permisi dan kakiku yang payah mulai menyusuri trotoar sempit. Aku menghentikan kakiku sebentar. Ku masukkan kantong plastik berisi peralatan mandi yang baru aku beli dari super market itu ke dalam tas reyotku yang menjijikkan. Beberapa detik kemudian aku kembali melangkahkan kaki dengan gontai seperti musyafir di tengah gurun. Oh Tuhan, seperti inilah panas dunia-Mu. Aku tak sanggup membayangkan panas Neraka Jahannam-Mu. Sungguh. Es Pocong!! Itu dia!! Aku yakin es pocong dapat menawarkan kepayahanku karena sengatan lampu alam yang berkobar menjilati kulit sawo matangku. Selama ini es pocong yang tak seseram namanya itu memang selalu ampuh mengobati dahagaku yang menjadi-jadi. Di kedai es pocong itulah banyak mahasiswa senasib yang juga mengandalkan es pocong sebagai penawar racun yang disebarkan terik matahari. Tak terkecuali. Termasuk aku dan Farid. Bahkan Farid selalu menantangku, siapapun diantara kami berdua yang terlebih dahulu lulus kuliah, maka dia wajib mentraktir es pocong selama satu bulan penuh, tanpa mempertimbangkan musim hujan atau kemarau ganas. Sebelum memasuki kedai es pocong, aku memandangi pintu kios Comic Zone, sebuah tempat penyewaan buku komik dan Novel. Didepan pintu itu kulihat sosok yang selalu bergentayangan dalam alam bawah sadarku. Sosok yang selama ini mampu menyejukkan sekujur tubuhku dari jilatan tujuh matahari. Sosok yang selalu menentramkan hatiku ditengah kemunafikanku. Sosok yang tak henti mendoktrin otakku dengan cahaya surga yang menyilaukan. Kak Nezza. Itulah sosok itu. Dalam mataku kulihat kak Nezza berdiri di depan pintu kios Comic Zone. Dia tersenyum padaku. Senyumannya menusuk mataku, menggerogoti otakku yang sudah tak waras. Beberapa orang keluar-masuk pintu kaca itu dan menembus tubuh transparan kak Nezza yang seperti hantu. Ya, hanya hantu kak Nezza lah yang aku lihat di depan pintu Comic Zone itu. Hanya bayangan kak Nezza. Sekali lagi, hanya bayangan kak Nezza. Aku memang sering melihat kak Nezza dalam bayanganku sendiri. Aku sering sekali melihat kak Nezza yang bukan sesungguhnya. Aku sering melihat kak Nezza dalam imajinasiku seperti seorang Nabi palsu yang mengaku melihat Jibril.
”Tidak ada kuliah Nay?” Seru Verdy. Ah entahlah. Entah Verdy atau Verdi penulisannya, atau bahkan mungkin Perdi, yang pasti anak itu adalah mahasiswa Gundar. Lelaki berbadan tipis itu baru saja keluar dari kedai es pocong. Matanya yang sipit seperti musafir yang menahan kantuk memandangku aneh.
”Ada sih... tapi ada janji dulu...” Jawabku datar sambil memandangi kaos kuningnya yang bergambar Pockemon. Verdy memang selalu terlihat unik. Dia haus perhatian orang lain, maka tak heran dia sering sekali bertindak atau berpakaian aneh. Rambut tipisnya yang berdiri menantang langit entah sudah berapa kali berganti warna. Kulitnya yang putih selalu berubah menjadi merah ketika berada di luar ruangan. Kalimat marketing ”Berbeda atau ditinggalkan” sudah menjadi kalimat keramat dalam hidupnya. Mungkin kalimat itu juga yang didoktrinkan Ko Lau, ayahnya yang terkenal sebagai pengusaha elektronik glodok itu. Verdy selalu ingin mejadi seorang yang berbeda dari orang lain. Dia menamakan dirinya Distinctive atau Unique, bahkan dia selalu ingin menjadi Trandsetter.
”Tuh, sudah ditunggu!” Jawab Verdy, pria yang mirip sekali dengan tokoh Cing-He dalam serial drama Meteor Garden itu.
”Aku ke kampus dulu ya! Ada kuliah Risk Management!” Aku hanya mengangguk pelan. Dan Verdy pun segera menerobos terik matahari yang bergentayangan dengan cara berjalannya yang lucu. Dia memang termasuk tipe orang yang berjalan cepat. Tubuhnya yang tipis, sedikit membungkuk seperti pohon kelapa doyong di belakang rumahku.
”Nayas!!” Seorang pria gempal berkacamata memanggil namaku ketika ku longokkan kepalaku ke dalam kedai Es Pocong. Mata pria itu merah dan kusam seperti orang sakit mata. Rambutnya klimis berkilatan. Dan bibirnya hitam seperti kayu bakar yang telah menjadi arang. Jika diperhatikan benar wajahnya mirip bandit tak tahu diri yang sering berkeliaran mencari mangsa pungli di perumahan mewah para pejabat. Lihat saja kaosnya yang kedodoran, seperti karung putih santa klouse super kucel. Kak Bharata. Begitulah nama pria gempal itu. Yang lebih menjijikkan lagi adalah pria di samping kak Bharata yang dari tadi memasang senyum setan. Rambutnya gondrong acak-acakan, mukanya kusut seperti narapidana yang baru keluar bui. Hidungnya besar seperti bohlam 40 watt yang tergantung di belakang kamar kostku. Senyumnya sumringah tapi mengerikan naudzubillah.
”Halo Nayas!” sapanya dengan suara serak seperti suara penjahat dalam film-film gangster. Dia membuka telapak tangannya yang lebar dan segera menjabat tanganku yang masih panas dari sisa pembakaran ultraviolet. Mengerikan! Telapak tangannya begitu kasar. Sangat kasar seperti permukaan batu bata. ”Apa kabar?” Lanjut pria horror itu sok kenal.
”Baik...” Jawabku pendek dengan harapan dapat segera terlepas dari tangan menjijikkan milik pria horror itu. Kemudian dengan segera aku meraih telapak tangan kak Bharata yang tak kalah kasarnya. Aku duduk di kursi yag telah disediakan.
”Mau minum apa Yas?” Tanya kak Bharata ramah. Suara kak Bharata ternyata tidak sebandit wajahnya. Suaranya mencerminkan seorang terpelajar yang pekak terhadap dunia sosial. Orang miskin yang mendengar suaraanya akan menyangka itu adalah suara malaikat yang dikirim Tuhan untuknya. Beda halnya ketika kak Bharata berorasi. Suaranya mantap, tegas dan bulat laiknya orator sejati yang mampu membakar jiwa siapapun yang mendengarnya. Suaranya seperti virus ganas yang menyerang otak mendoktrin saraf utama sang pendengar.
”sama saja...” Jawabku pendek ketika melihat menu kak Bharata dan lelaki horror itu. Kak Bharata segera memesan menu, lelaki horror itu tetap saja memandangku dengan mata nanar. Aku dan lelaki horror itu masih saling diam sampai akhirnya kak Bharata kembali.
”Baik Yas, kenalkan ini sahabat saya, Sarimin, panggil saja mas Imin!” Hmp... hampir saja aku tidak bisa menahan tawa mendengar nama lelaki horror itu, kemudian dengan kemampuan aktingku, aku dengan sigap berpura-pura batuk agar tidak menyinggung perasaan pria horror bernama Sarimin itu. Sarimin? Pria horror itu bernama Sarimin? Sarimin pergi ke pasar... hehehe... seperti nama topeng monyet saja.
”Mas Imin ini penulis...” Lagi-lagi hampir saja aku tidak bisa menahan geli. Penulis? Dengan nama sarimin? hmp... nama yang tidak menjual. Buku mana yang akan laris di pasaran jika nama penulisnya saja menjadi bahan olok-olokkan.
”Kenapa? Kamu ingin tertawa mendengar namaku? Sudahlah Bhar, kita terbuka saja pada tamu terhormat kita ini. Nama asliku Sulistyo, Sarimin hanyalah namaku sebagai penulis. Ini adalah filosofi. Aku ingin memposisikan diriku sebagai seekor monyet. Biar pemerintah malu dikritik oleh seekor monyet. Hahaha....” Jelas pria horror itu diakhiri dengan tawa mengerikan, padahal pernyataannya itu sedikitpun tidak lucu. Malah aku ingin muntah dibuatnya.
”Buku terakhir yang ditulisnya adalah, ’Mari Berjudi dengan Penguasa’!” Tambah kak Bharata serius. Aku ingat judul buku itu. Senyumku mulai mengembang. Senyum paling menjijikkan yang pernah aku keluarkan.
”Boleh saya tebak? Buku itu tidak laris di pasaran, iyakan?” Sergahku enteng. Sarimin horror itu membelalakkan matanya. Duduknya yang santai berubah menjadi kaku. Matanya menatapku tajam. Penuh kebencian.
”Itu menurut hasil survei pada salah satu koran nasional beberapa bulan yang lalu, bukan menurut saya...” Jawabku dengan nada tenang.
”Oke... mm... kita langsung ke intinya saja...” Sergah kak Bharata mendinginkan suasana. ”Mas Imin ini punya sebuah rencana. Kamu tahu kan Yas, sudah banyak penulis hebat yang terlahir di dalam penjara? Ada penulis yang merampungkan dua puluh jilid bukunya justru ketika dia mendekam di dalam penjara. Ada yang bukunya menjadi best seller dunia padahal ditulis di tengah kegelapan penjara, dan...”
”Aku ingin dipenjara!!” Serobot pria horror itu memotong penjelasan kak Bharata. Orang yang aneh.
”Mood-ku akan optimal jika aku berada di dalam penjara! Kau pasti pernah mendengar kisah orang-orang sakti yang hanya akan mendapatkan ilham jika mereka bersemedi? Penjara adalah goa semedi yang cocok bukan? Hahaha... atau kau pernah mendengar tentang seorang karyawan yang bisa menyelesaikan pekerjaannya ketika berada dalam tekanan?”. Pria horror itu mengetukkan rokoknya. Abu sisa pembakaran rokoknya berjatuhan. ”Aku ingin dipenjara! Agar aku bisa melahirkan best seller di dalam penjara! Tapi aku harus mencari alasan agar aku dipenjara!” Mata pria horror itu kali ini seperti mata burung hantu. Ia menatapku tajam. Sangat tajam. Kemudian melanjutkan penjelasannya dengan suara berbisik, ”Agar aku dipenjara, aku akan menulis buku yang isinya tentang aib penguasa negeri kita, ya, hal itu akan membuatku dipenjara. Jika tidak ada penerbit yang mau menerbitkan buku itu, aku akan menerbitkannya sendiri”.
”Lalu apa hubungannya dengan saya?”
”Karena kamu anak hukum UI” Jawab lelaki berengsek itu mendekatkan wajah baunya ke arah muka ku.
”Masih banyak anak hukum UI yang lain, lalu kenapa harus saya?”
”Karena ayahmu seorang pengacara”
”Masih banyak anak hukum UI yang ayahnya seorang pengacara, bahkan ada juga anak seorang hakim bahkan jaksa muda?”
”Karena ayahmu Abdul Hamid, SH.”
”Apa hubungannya?”
”Aku mau minta bantuannya! Untuk sebuah rencana besar ini...” Aku memicingkan mataku sambil membetulkan letak kacamataku yang melorot.
”Kenapa harus ayah saya?”
”Karena dia telah mengambil hati masyarakat!”
”Maksudnya?”
”Nasarrudin Hamid... kamu ini belum mengerti juga ya? Aku tahu, ayahmu Abdul Hamid, SH berada di bawah naungan LBH yang selama ini banyak melayani permasalahan hukum rakyat kecil”
”Anda mau memanfaatkan ayah saya?”
”Bukan... aku hanya ingin minta bantuannya untuk melancarkan jalanku menuju penjara, itu saja...” Pria horror itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Kemudian dengan ganas menyemburkan asapnya yang penuh racun itu seperti naga memuntahkan api.
”Kamu tahu siapa aku kan? Aku adalah orang yang sedang membuka borok dan aib pemerintah. Aku adalah seorang yang sedang melawan pemerintah. Dan aku mengatasnamakan rakyat. Jangan tanya rakyat yang mana! Karena aku sendiri adalah seorang rakyat! Dan orang-orang seperti aku adalah orang-orang yang banyak mendapat dorongan dan pembelaan dari rakyat, Ormas, aktivis, LBH atau organisasi-organisasi lain yang sudah muak dengan pemerintah. Singkatnya, akan ada banyak orang yang mendukungku. Mereka akan membelaku sebagai seorang pahlawan. Sudah tidak aneh lagi kan seseorang yang mengkritik pemerintah akan didukung habis-habisan oleh rakyat, terlebih oleh mahasiswa seperti kalian. Tapi justru aku tidak menginginkan hal itu. Karena dukungan dan pembelaan mereka akan menghadang jalanku menuju penjara”. Orang aneh. Manusia normal tentu saja tak mau dipenjara. Tapi pria horror itu malah sebaliknya. Orang Stress.
”LBH ayahmu adalah LBH yang selalu berpihak pada kepentingan rakyat kecil. LBH ayah mu selalu melindungi hak-hak hukum rakyat, maka tak heran, kalau sebagian kalangan menganggap bahwa LBH ayahmu adalah milik rakyat. Aku yakin, atas jasa-jasa LBH ayahmu pada rakyat, akan membuat rakyat selalu berada di pihak LBH ayahmu, bukan hanya karena hutang budi, tapi lebih karena mereka sudah percaya bahwa LBH ayahmu selalu dipihak mereka. Dengan kata lain, apapun yang dikatakan LBH ayahmu, rakyat akan setuju karena mereka percaya LBH ayahmu di pihak mereka. Untuk itu, aku ingin minta bantuan ayahmu dan LBH nya untuk tidak terlalu membelaku nanti dipersidangan, dengan demikian, jika LBH ayahmu tidak membelaku,maka terkesan rakyat pun tidak membelaku, dan itu akan memudahkan jalanku menuju penjara”.
”Hukum bukan berpihak pada banyaknya pendukung, tapi...”
”Aku tahu Nayas... sekali lagi aku katakan bahwa aku ingin mempermudah JALANKU menuju penjara, bukan untuk membuatku dipenjara. Kamu ini seorang terpelajar, aku yakin kamu mengerti. Ini tentang proses, bukan tentang alasan...” Jelas pria horror itu yang memaksaku untuk mengakui kekagumanku pada kalimat terakhirnya.
”Bagaimana Nayas?” Tanyanya berharap. Sial. Pria horror yang cerdas. Dia pasti sengaja tidak mendatangi ayahku langsung untuk meminta bantuannya karena dia tahu aku adalah teman dekat kak Bharata. Dia sengaja menjebakku. Dia memaksaku untuk menerima tawarannya karena aku harus menghormati kak Bharata yang membawanya padaku. Aku memang merasa tidak enak pada kak Bharata jika harus menolak. Aku masih diam. Bukan karena tidak bisa menjawab, tapi karena aku tidak enak pada kak Bharata. Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Kak Bharata juga diam. Kak Bharata hanya menjadi seorang moderator kali ini. Oh ya, moderator. Kak Bharata hanya moderator, itu artinya dia tidak berpihak pada siapapun. Aku yakin, kak Bharata adalah orang yang cerdas, dia pasti akan mengerti jika aku harus...
”Jangan khawatir! Ayahmu tidak akan sendiri! Aku sudah menyewa banyak pengacara untuk memudahkan jalanku menuju penjara. Mereka sudah setuju dengan rencanaku... Bagaimana?”
”Hmp... maaf, ayah saya dan LBH nya sekarang sedang sibuk mengurusi hak-hak hukum buruh di kotaku. Jadi tak ada waktu untuk permainan semacam ini”. Jawabku sekenanya. Pria horror itu terbelalak. Dia memperbaiki sikap duduknya.
”Maksudmu?”
”Belum mengerti juga ya? Saya tolak tawaran anda!” Pria horror itu ternganga. Dia melihat ke arah kak Bharata kemudian kembali mengalihkan pandangan ke arahku. ”Jadi kamu menolak?”
”Ya, sudah jelas kan?” Pria horror itu kembali melongo. Dia memutar-mutar batang rokok di jari-jarinya.
“Ok… Cuma kamu yang nolak, belum tentu ayahmu dan LBH nya menolak kan?”
"Hmp... saya yakin, ayah dan LBH nya tidak akan punya waktu untuk rencana anda yang kekanak-kanakkan itu”. Jawabku kasar. Pria horror itu hampir saja bangkit dari duduknya. Dia semakin terlihat geram. Kak Bharata mulai bergerak. Mungkin gerakan refleks dari kekagetan.
”Apa?”
”Ya, itu hanya sebuah rencana bodoh! Aku yakin, hanya orang bodoh yang mau mengikuti rencana bodoh anda!” Jawabku semakin kasar.
”Bedebah kau Yas...” Teriak pria horror itu akhirnya bangkit dari duduknya. Kursi yang tadi didudukinya terjungkal. Semua orang di kedai es Pocong menumpahkan pandangannya ke arah kami. Kak Bharata ikut berdiri mencoba menenangkan pria horror itu.
”Aku tidak menyangka Bhar, cecunguk ini punya nyali juga...” oceh pria horror itu mengumpat.
”Siapa cecunguk yang punya nyali itu? Saya ataukah anda?” Tanyaku enteng sambil masih dalam posisi duduk. Pria horror itu bertambah gusar. Matanya semakin terbelalak. Gerakkan refleks nya itu mungkin saja berniat menghajarku kalau tidak ada kak Bharata di sampingnya. Kak Bharata memegang pundak besar pria horror itu. Mencoba menenangkan.
”Anak ingusan ini benar-benar bedebah Bhar... sebuah musibah untuk UI... Musibah Bhar....” gerutu pria horror itu mencoba menahan emosi yang meletup-letup di dadanya. Matanya masih menusukkan pandangan benci ke arahku yang masih duduk santai.
”Baru kali ini aku dihina bedebah ingusan! Sebelum kesabaranku habis, lebih baik aku permisi dulu Bhar!” Pria horror itu mulai melangkahkan kaki besarnya.
”Tapi Mas...” kak Bharata berusaha mengejar.
”Sudahlah Bhar! Kau urus saja cecunguk sialan itu...” Kak Bharata akhirnya membekukan kakinya yang tadi berusaha mengejar pria horror itu—yang kini lenyap dari kedai es pocong. Kak Bharata tertunduk. Beberapa detik. Kemudian dia membetulkan kursi yang tadi dijungkalkan pria horror itu.
”Kak...” aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk membuka kata.
”Kita kembali ke kampus!” Jawab kak Bharata dingin tanpa memandangku. Celaka! Itu adalah kalimat terpendek yang pernah aku dengar dari mulut kak Bharata—selain kalimat yang terpotong. Jangan-jangan dia marah. Bukannya tadi dia hanya menjadi moderator? Seharusnya tak ada alasan untuk marah karena seorang moderator tidak mempunyai hak berpihak pada siapapun. Celaka. Sikapnya masih dingin. Sepertinya dia kecewa besar. Aku menyesal. Bukan karena menolak tawaran pria horror itu, tapi karena aku telah membuat kak Bharata kecewa. Bagaimana ini?
”Mas Sarimin itu pengecut kak!”. Aku berusaha menjelaskan alasan kenapa aku tadi bersikap kasar. Kak Bharata menghentikan langkahnya. ”Dia hanya bisa mencari kesalahan dan aib orang lain termasuk aib pemerintah dalam tulisannya, namun ketika saya membuka aib bukunya yang tidak laku itu, dia memperlihatkan ekspresi kebencian luar biasa pada saya. Dia hanya bisa sok pintar dengan menganggap mudah segalanya, tapi saat saya ’bodoh’kan rencananya itu dia tidak terima. Dia hanya bisa mengkritik orang lain termasuk pemerintah di dalam karya-karyanya, tapi saat saya kritik rencana busuknya itu, dia malah marah-marah. Dia seorang pecundang kak!! Keinginannya untuk dipenjara itu, saya yakin bukan untuk mengoptimalkan mood-nya—persetan dengan mood—semua itu sekedar sensasi agar bukunya laris seperti dia membuat sensasi dengan namanya yang sok filosofis itu. Jika dia ingin dipenjara, kenapa harus susah-susah membuat buku yang menghina penguasa kemudian menerbitkannya sendiri? Kenapa tidak mencuri saja? Atau mermpok? Atau menjambret? Jawabannya hanya satu, yaitu karena mencuri, merampok atau menjambret tidak akan membuat sensasi. Iyakan, kak?” kak Bharata mengambil nafas dalam-dalam. Lubang hidungnya yang seperti goa siluman turun-naik. Auranya memancarkan kekecewaan yang luar biasa dan semakin menjadi-jadi. Pandangannya yang kosong mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang ingin dia keluarkan. Sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan oleh logika seorang bedebah seperti aku. Kak Bharata menatapku ragu. Sebuah pandangan yang mengkhawatirkan. Bibirnya yang legam mulai bergerak ragu. Sama ragunya dengan pandangan dinginnya,
”Yas, kamu juga sombong! Kamu sok menguji orang lain. Sudahlah! Kita kembali ke kampus! Kamu masih ada kuliah, kan?” Kak Bharata melangkah pelan. Sedikit gontai seperti berat oleh beban kekecewaan. Tidak bisa kupercaya. Kalimat itu keluar dari mulut seorang kak Bharata. Sombong. Kak Bharata menyebutku sombong. Sungguh. Baru pertama kali aku mendengar kak Bharata sekasar itu.
”Tapi kak...”
”Kenapa? Kamu tidak menerima juga aku kritik? kamu tidak terima kritikkanku? Heh? Kalau begitu apa bedanya kamu dengan Mas Imin?”
Shite. Kalimat kak Bharata menyentak di dadaku. Seketika lidahku kelu. Aku tidak bisa mengelak. Itu sebuah kalimat Boomerang. Sungguh. Aku tak bisa bicara lagi. Sial.


Baca Selengkapnya dalam novel : namaku_senja NOVEL KEDUA GUE NEH... DAPATKAN SEGERA!!!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ceritanya blm slese y punk?y gtw akirnya dnk..mnrt gw,lu ckp bgs dlm mendeskripsikan sesuatu,baik org,pemandangan,dsb..

Posting Komentar

Kasih komen ya temans...
Untuk temans yg tidak punya blog atau account google, pada bagian "Beri komentar sebagai", pilih aja Name/Url. Nama nya ketik nama kamu, url nya isi almt web, atau kosongkan saja...

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com