Senin, Januari 26, 2009

Di Halaman Terakhir Oktavo

Cukup sederhana aku mengenalmu seperti nazam dalam bait anggur putih
Ingatkn aku!
Tentang serpihan keraton retak, atau puisi yang gelap jengat
Cukup sederhana aku mengenalmu, diantara gugusan bintang, atau hanya di atas dek kapal pesiar
Tentang kita, sudah kutulis dalam lembaran kitab kayu hingga menjelmakanku sesaat
Cukup sederhana,untuk mengenal,
untuk mengenang,
atau hanya untuk membual...


(diambil dari Buku Kenangan SMA Negeri 1 Karawang angkatan tahun 2004 karya ipung)

Baca Selengkapnya......

Kamis, Januari 22, 2009

Gadis itu bernama Kazumi Shimazaki

"Maukah kau membantu melipat gerimis itu untukku?" Pinta seorang gadis yang sejak tadi duduk kaku di sebelah kiriku setelah beberapa menit kami saling diam. Aku yang dari tadi tak berani menatapnya, kini tak segan menangkap wajah ovalnya yang terbingkis jilbab biru itu kedalam mataku. Amboi, kulitnya putih sekali, mulus mengalahkan model iklan sabun mandi GIV. Bahkan tak adil jika harus kubandingkan gadis itu dengan gadis-gadis di desaku yang kulitnya berhiaskan koreng, panu, kudis, kurap, buduk, atau sisa-sisa jerawat yang melubangi wajahnya.
Atau lihatlah hidung gadis berjilbab itu yang mirip perosotan anak TK: rendah pada pangkal hidung kemudian mancung di bagian ujungnya. Seperti hidung orang-orang belanda. Berbeda dengan gadis-gadis di desaku yang lubang hidungnya saja mengkhawatirkan -- menganga menghadap langit, sehingga air hujan sewaktu-waktu bisa masuk kedalam hidungnya.
Tapi dari bentuk mata gadis berjilbab itu yang sulit melotot, aku tahu dia seorang chinese.
Assumsiku bahwa dia seorang chinese semakin bulat ketika kubaca beberapa barisan huruf pada ID card yang terkalung di lehernya: Kazumi Shimazaki, Marketing Eksekutif.
"Bantu aku melipat gerimis itu!" Gadis itu mulai tampak memohon. Aku palingkan pandanganku dari wajah sendu gadis itu menuju hujaman gerimis yang membentuk pagar-pagar air di hadapanku. Warnanya berkilauan seperti jarum-jarum panjang yang sengaja ditusukkan langit ke bumi. Beberapa jarum air itu menusuki atap-atap mobil yang sombong, kulit-kulit payung orang yang berlalulalang dan sebagian lagi menghujam tanah, aspal, trotoar, helm, gedung dan atap halte penuh grafiti yang kini memayungi aku dan gadis itu. Suara hujaman gerimis di atas atap halte seperti bunyi perkusi yang bersahut-sahutan, mendendangkan irama cinta seorang sufi untuk Tuhannya.
"Gerimis sial!" umpat gadis chinese itu yang membuat mataku kembali menumpahkan pandangan ke wajah ovalnya. Kali ini dia berdiri gelisah.
Matanya terlihat resah memandangi jarum-jarum waktu dalam jam yang terlingkar di pergelangan tangannya.
"Ah, apakah doaku hanya sebatas kata-kata busuk seperti kata-kata yang sering aku dengar dari mulut para pembual sehingga Engkau tidak mengabulkan doaku, Tuhan? Padahal doa itu sudah kurangkai dengan kata-kata terindah yang tak pernah bisa ditulis oleh seorang pujangga. Padahal kata-katanya sudah kulengkapi dengan ungkapan-ungkapan dan peribahasa yang tak bisa diterjemahkan para penyair. Lalu kenapa Engkau tak mengabulkannya Tuhan? Apakah Kau sudah bosan dengan kata-kata kami? Sudah muak? Sudah jijik? Ah, aku tahu Engkau tak seperti itu, Tuhan. Lalu kenapa Engkau tak mengabulkan doaku? Padahal doaku cukup sederhana : aku hanya ingin hari ini tak ada gerimis. Itu saja. Lalu kenapa Kau turunkan gerimis itu Tuhan? Tadinya aku kira Engkau kirimkan pria di sampingku ini untuk membantuku melipat gerimis, tapi ternyata pria itu hanya kodok buduk yang tak sepandai aku dalam membuat kalimat terindah. Kau lihat Tuhan? Pria itu hanya diam. Hanya diam, Tuhan. Entah karna bisu atau karna mulutnya bau. Engkau yang lebih tahu, Tuhan. Pria itu tak lebih dari seekor bangkai kecoak tengik ya Tuhan?".
Gadis berengsek itu melirikku. Pandangannya menusuk ulu hatiku. Gadis sialan!
"Lalu apa, Tuhan? Apakah kata-kata hanya cukup menjadi sebuah simbol? Hanya pantas untuk sebuah slogan? Atau hanya sebuah pelengkap dari terciptanya lidah? Persetan dengan semua itu!"
Aku diam menahan tawa. Dalam hati aku bertanya, 'Apakah gadis itu cukup suci untuk sebuah pemberontakkan pada Tuhan?'

Baca Selengkapnya......

Selasa, Januari 20, 2009

Perburuan Senja


Jika aku harus mendeskripsikan bagaimana bentuk sayap malaikat, maka aku cukup tunjuk saja bibirnya. Ya, aku memang tidak pernah tahu bagaimana bentuk sayap malaikat, tapi setidaknya aku yakin bahwa bibir gadis yang saat ini terbaring di atas pangkuanku itu memang setipis sayap-sayap malaikat. Bibirnya adalah sebuah keindahan yang tak terbayangkan dalam imajinasi manusia. Rambutnya sehitam bayangan angin yang tak pernah bisa terlukis oleh tanah.
Namanya Lia.
Tapi aku biasa menyebutnya presiden negeri senja nomor dua, karena tentu saja presiden negeri senja nomor satu adalah aku.

Sebenarnya aku sudah memintanya untuk menjadi wakil presiden saja, biar aku presidennya, tapi gadis berbibir sayap malaikat itu memang keras kepala, dia tetap ingin menjadi presiden negeri senja kami.
Hmm.. Dia memang keras kepala. Aku jadi ingat pada hari yang kami sebut sebagai hari pertama perburuan senja.
Saat itu aku gelisah. Mondar-mandir di sudut sebuah minimarket.
Mata yang bersarang dibalik kacamata jadulku tak henti melepaskan pandangan ke arah gadis keras kepala itu. Dia sedang sibuk mempreteli cadburry, toblerone, silverqueen, ice cream walls pada rak-rak minimarket itu. Tujuan kami memang sama: berburu senja. Tapi perburuan senja gadis itu hanya untuk menikmati wisata kuliner di bawah naungan senja yang menyelimuti langit. Aku lain lagi. Perburuan senjaku tak lain hanya untuk mengabadikan senja merah itu dalam kamera pocket baruku yang baru aku beli dari gaji pertamaku. Sudah cukup lama memang aku menantikan saat ini. Aku memang sering menikmati senja, tapi ini adalah kali pertama aku coba untuk mengabadikannya dalam kamera baruku itu. Hmm.. Sebenarnya bukan kamera baru, kamera itu adalah kamera second yang aku beli di salah satu toko elektronik di mangga dua. Yang kumaksud baru disini adalah bahwa kamera itu baru saja aku miliki. Ya, sekali lagi: baru aku miliki.
Entah berapa menit aku mondar-mandir gelisah di sudut minimarket itu. Bagiku satu menit seperti satu tahun, ah tidak, mungkin satu abad. Ketakutan tak bisa mengabadikan senja, ternyata mampu menjungkalkan waktu. Bayangkan! Menit bisa menjadi abad.
Dan kini ketakutan itu menggerogoti otakku. Berkali-kali aku menggigit bibir, gelisah seperti seorang calon ayah menunggu kelahiran buah hatinya di lorong rumah sakit bersalin. Beribu sumpah serapah meluncur dari dalam mulutku mengutuki gadis itu dan diriku sendiri. Sebenarnya bisa saja aku meninggalkan gadis itu, tapi itu malah akan menimbulkan bencana yang lebih besar. Jika aku sampai meninggalkan gadis itu, bisa-bisa dia melapor pada ayahku. Dan semua orang tahu tentang kekejaman ayahku. Bisa-bisa aku diceramahinya selama dua puluh empat jam,
"Kamu ini mau jadi apa? Berani-beraninya meninggalkan tunanganmu sendiri di minimarket dan membiarkannya pulang sendiri naek angkot, terlalu kamu sep". Kira-kira begitulah petikan ceramah kejam ayah itu. Ah aku tak sampai hati mengecewakan ayah, dan jujur, aku pun tak rela kalau gadis itu harus pulang sendiri naik angkot. Hal itu yang membuatku mengutuki diriku sendiri.
Gadis itu tengah memilah beberapa spagethi instan di rak minimarket ketika kesabaranku mulai hilang. Dengan sorot mata pembunuh, aku menghampirinya, menarik tangannya sehingga beberapa spagethi berbungkus streoform itu berjatuhan. Aku tak peduli. Aku terus menarik tangannya. Pemberontakkan gadis itu tak mampu melepaskan tangannya dari cengkraman tanganku.
"ipung, lepaskan! Aku masih butuh spagethi itu!"
Aku menghentikan langkah, kemudian membalikkan badanku ke arahnya sehingga mata kami beradu pandang.
"Jadi spagethi itu lebih berharga daripada senja? Sekarang sudah jam setengah enam sore! Tak ada waktu lagi!" omelku dingin, kemudian kembali menarik tangannya hingga tepat di depan kasir.

*****

Entah berapa kecepatan Honda tua yang ku pacu itu. Speedometernya sudah tak berfungsi. Mungkin sekitar 40 km/jam, karena memang itulah kecepatan maksimal motor butut berplat nomor merah milik ayahku ini.
Lia memegang jaket kasarku dengan erat dari belakang. Dia tak mau ambil resiko jika nanti ada jalan berlubang lagi yang kulindas, bisa-bisa dia terlempar, seperti tadi tanpa sengaja sebuah lubang menjerumuskan roda motorku sehingga plat nomornya terjatuh dan beberapa bagian motor rontok. Untuk itu Lia mencengkeram erat jaketku dengan wajah cemas. Sebuah kecemasan yang menambah indah wajahnya.
"Ah, sial!" umpatku setelah kulihat langit semakin gelap. Tampaknya malam mulai melahap cahaya keemasan senja. Sambil memacu honda bututku, sesekali aku menoleh ke arah kananku, memastikan senja belum habis dilahap malam. Inilah yang aku sebut sebagai perburuan senja. Aku harus bergulat dengan waktu, demi mengabadikan senja dalam kamera second ku. Waktu seperti perampok yang sedang berusaha mengambil senja, satu-satunya harta yang ku punya. Terkadang waktu adalah penjahat nomor satu bagi pecundang seperti aku.
"disini saja, pung! Tak usah di negeri senja! Sepertinya kita terlambat!" saran Lia agar aku memotret senja di tempat itu. Bukan di negeri senja.
"Tahu apa kamu tentang seni angel sebuah objek pemotretan? Tak ada tempat yang lebih indah daripada negeri senja di dunia ini! Negeri senja adalah keindahan seni yang tak bisa ditemui di tempat manapun di dunia ini!" Teriakku sambil tetap memacu honda rongsokku.
"celaka!" mataku menangkap malam yang tak henti menggerogoti senja dengan ganas dari berbagai sudut.

Dalam hitungan menit, habis sudah semburat merah kekuningan bernama senja itu berganti menjadi langit hitam yang mencengkeram setiap mata manusia di bumi.
Tubuhku lemas. Tak sanggup lagi memacu motor honda astrea antikku.
Lihatlah lututku, sudah seperti fosil bambu yang hidup jutaan tahun lalu. Rapuh. Sangat rapuh. Terlalu rapuh malah. Ah, Entahlah. Pertanyaan pertama yang tak pernah ada jawabannya di dunia adalah: kenapa aku menjadi begitu lemah ketika keinginanku mengabadikan senja tak terwujud? Ah, itulah alasan kenapa aku menyebut diriku pengecut.
"sudah kubilang tak usah di negeri senja kan?" celoteh lia sambil memijit kakiku yang berselonjor ketika aku duduk di pinggir jalan tanpa trotoar.
Aku tak menjawab.
Aku hanya memandanginya. Memandangi wanita berbibir sayap malaikat itu.
Jarang sekali bibir itu mengucapkan "I love you" untukku. Tak apa. Buatku kalimat british itu tak terlalu penting. Yang terpenting adalah: bahwa dia mau menerimaku apa adanya. Dia mau mencintaiku walau dia tahu bahwa aku ini miskin, bahwa tampangku biasa saja, bahwa aku malas mandi, bahwa aku egois, bahwa aku pecemburu, bahwa aku penghayal, bahwa aku sok idealis, bahwa tubuhku kurus tak karuan, bahwa pekerjaanku hanya sebagai seorang callcenter, bahwa ayahku enam bulan lagi pensiun, bahwa motor ayahku bututnya minta ampun, bahwa pagar rumahku hanya terbuat dari bambu keropos, bahwa ibuku pendiam. Cukup dengan semua itu, sehingga kata-kata mutiara seperti dalam novel atau film roman sudah tak kubutuhkan lagi.
Aku yang tadi lemah dan payah karna tak bisa mengabadikan senja dalam kameraku, sekarang mulai bangkit. Inilah pertanyaan kedua yang tak pernah kutemui jawabannya di dunia: kenapa aku menjadi semangat setiap kali memandangi wajah gadis itu?
Aku mulai memacu kembali motor bobrokku. Sial. Malam sudah cukup lama menyelimuti kami. Tapi lagi-lagi. Lampu motorku mati.
Lia tahu benar apa yang harus dilakukannya saat lampu motorku mati. Dia lari ke bagian depan motorku dan tanpa basa-basi melayangkan tinjunya ke arah lampu depan motorku. Belum menyala. Tinju keduapun melayang. Ajaib. Lampu motorku akhirnya menyala. Tawa kami pecah. Memecahkan malam yang sudah merebut senja dariku.
Meninju lampu motorku adalah pekerjaan favoritnya.
Jika memang akhirnya lampu motorku itu menyala saat tinju lia mendarat, bukan karna tangan atau tinjunya ajaib mengandung magis. Tapi aku tahu benar karna ada kabel lampu yang tak beres. Aku sengaja tak membetulkannya, dengan harapan selalu bisa melihat tawa ceria gadis itu setiap kali mendaratkan tinjunya agar lampu menyala. Tawanya memang mampu mengobati telingaku yang sering disakiti oleh suara horor motor reyotku itu.
Aku memacu honda butut yang lampunya tak seterang cahaya lilin itu sambil berjanji di dalam hati: besok harus lebih awal. Harus!

***

"Berburu senja!" jawabku melontar alasan kenapa aku tidak masuk kerja hari ini.
Supervisorku melongo di ujung telepon. Aku sengaja menelepon kantor meminta ijin hari ini aku tak masuk kerja dengan alasan gila: 'berburu senja', yang membuat supervisorku melongo bego.
Aku menutup telepon. Tanpa ucapan terimakasih. Tanpa kalimat penutup. Tanpa salam. Gila. Benar-benar gila. Pertanyaan ketiga di dunia yang tak ada jawabannya: kenapa aku jadi gila untuk senja? Ah, apa peduliku.
Lia rupanya sudah menungguku. Lengkap dengan persediaan kulinernya. Hari itu kami berangkat lebih awal. Jam tiga sore sudah tiba di negeri senja. Matahari masih cukup menyengat. Belum ada tanda-tanda senja. Ah, biarlah. Daripada terlambat lagi. Kami segera menggelar persediaan kuliner yang dipersiapkan gadis malaikat itu. Wangi dari beberapa makanan itu segera merebak ke segala penjuru negeri senja.
Negeri senja adalah sebuah jalan menikung yang salah satu sisinya adalah tebing yang mengkhawatirkan. Dari sisi itu terlihat jelas hamparan luas kota kecil bernama Purwakarta. Sisi ini hanya dibatasi barisan pagar besi berkarat yang sudah terkoyak dan diselimuti beberapa jenis tumbuhan jalar yang merambati pagar mengenaskan itu persis pagar-pagar kastil. pagar itu sudah tak sanggup lagi berdiri sehingga miring ke salah satu arah, padahal peran pagar itu sangat penting untuk mencegah kendaraan loncat ke jurang dari jalan yang menikung tajam itu. Sisi lainnya dari negeri senja adalah dinding tanah yang sewaktu-waktu bisa ambrol karna longsor.
Pernah seorang teman, Supri namanya, bertanya padaku dimana dia bisa melihat tempat terindah di Indonesia. Ku jawab, Negeri Senja, di daerah Purwakarta, akses menuju daerah Wanayasa atau Gunung Tangkuban Perahu. Akhirnya Supri penasaran dan mendatangi tempat yang kumaksud. Sepanjang jalan dia bertanya dimana kampung negeri senja itu, tapi setiap penduduk yang ditanyainya menggelengkan kepala. Tak ada satu pun yang tahu. Jelas saja Karna negeri senja adalah nama tempat yang kuciptakan sendiri. Negeri senja hanyalah sebuah tikungan tajam yang salah satu sisinya adalah tebing curam mengerikan. Bahkan aku sendiri tak tahu nama asli daerah itu.

***

Senja itu berwarna orange kali ini. Dari menit ke menit bentuknya berubah. Inilah yang aku suka dari senja. Dia kreatif. Bentuknya selalu berbeda-beda. Warnanya kadang merah, orange, kuning keemasan, ungu bahkan biru keunguan. Kameraku tak henti mengabadikannya. Mengabadikan senja yang meletup-letup dalam jiwaku.

Begitu hampir setiap hari. Aku tak berhenti berburu senja. Aku sudah menjadi gila: bolos kerja untuk sebuah perburuan senja.
Lia juga ikut-ikutan gila. Sama-sama tak waras. Kami memang gila. dua orang manusia gila karena senja. senja yang meletup-letup dalam kegilaan kami.

Baca Selengkapnya......

Senin, Januari 19, 2009

namaku_senja


Gila!!! Benar-benar gila!! 52 derajat celcius! Kepalaku rasanya akan meledak. Kulitku seperti akan menguap menjadi zat yang tak berbentuk. Aspal seolah menjadi danau lava yang membakar roda-roda kendaraan. Matahari telah berkobar ganas di ujung rambut kepalaku. Mencengkeram dan menusuki tempurung kepalaku tanpa ampun. Perlengkapan mandi dalam kantong plastik berlogo super market ternama dalam genggamanku rasanya ikut mencair. Padahal beberapa menit yang lalu kantong plastik itu didinginkan oleh AC-AC Depok Town Squere. Tapi sekarang panas tak keruan. Seperti aspal yang tampak mencair itu.Keringatku jatuh menghujam aspal panas yang terbentang sepanjang Jalan Margonda.
Bersama para pedestrian yang lain, aku melintasi kendaraan yang berlalu lalang tanpa permisi dan kakiku yang payah mulai menyusuri trotoar sempit. Aku menghentikan kakiku sebentar. Ku masukkan kantong plastik berisi peralatan mandi yang baru aku beli dari super market itu ke dalam tas reyotku yang menjijikkan. Beberapa detik kemudian aku kembali melangkahkan kaki dengan gontai seperti musyafir di tengah gurun. Oh Tuhan, seperti inilah panas dunia-Mu. Aku tak sanggup membayangkan panas Neraka Jahannam-Mu. Sungguh. Es Pocong!! Itu dia!! Aku yakin es pocong dapat menawarkan kepayahanku karena sengatan lampu alam yang berkobar menjilati kulit sawo matangku. Selama ini es pocong yang tak seseram namanya itu memang selalu ampuh mengobati dahagaku yang menjadi-jadi. Di kedai es pocong itulah banyak mahasiswa senasib yang juga mengandalkan es pocong sebagai penawar racun yang disebarkan terik matahari. Tak terkecuali. Termasuk aku dan Farid. Bahkan Farid selalu menantangku, siapapun diantara kami berdua yang terlebih dahulu lulus kuliah, maka dia wajib mentraktir es pocong selama satu bulan penuh, tanpa mempertimbangkan musim hujan atau kemarau ganas. Sebelum memasuki kedai es pocong, aku memandangi pintu kios Comic Zone, sebuah tempat penyewaan buku komik dan Novel. Didepan pintu itu kulihat sosok yang selalu bergentayangan dalam alam bawah sadarku. Sosok yang selama ini mampu menyejukkan sekujur tubuhku dari jilatan tujuh matahari. Sosok yang selalu menentramkan hatiku ditengah kemunafikanku. Sosok yang tak henti mendoktrin otakku dengan cahaya surga yang menyilaukan. Kak Nezza. Itulah sosok itu. Dalam mataku kulihat kak Nezza berdiri di depan pintu kios Comic Zone. Dia tersenyum padaku. Senyumannya menusuk mataku, menggerogoti otakku yang sudah tak waras. Beberapa orang keluar-masuk pintu kaca itu dan menembus tubuh transparan kak Nezza yang seperti hantu. Ya, hanya hantu kak Nezza lah yang aku lihat di depan pintu Comic Zone itu. Hanya bayangan kak Nezza. Sekali lagi, hanya bayangan kak Nezza. Aku memang sering melihat kak Nezza dalam bayanganku sendiri. Aku sering sekali melihat kak Nezza yang bukan sesungguhnya. Aku sering melihat kak Nezza dalam imajinasiku seperti seorang Nabi palsu yang mengaku melihat Jibril.
”Tidak ada kuliah Nay?” Seru Verdy. Ah entahlah. Entah Verdy atau Verdi penulisannya, atau bahkan mungkin Perdi, yang pasti anak itu adalah mahasiswa Gundar. Lelaki berbadan tipis itu baru saja keluar dari kedai es pocong. Matanya yang sipit seperti musafir yang menahan kantuk memandangku aneh.
”Ada sih... tapi ada janji dulu...” Jawabku datar sambil memandangi kaos kuningnya yang bergambar Pockemon. Verdy memang selalu terlihat unik. Dia haus perhatian orang lain, maka tak heran dia sering sekali bertindak atau berpakaian aneh. Rambut tipisnya yang berdiri menantang langit entah sudah berapa kali berganti warna. Kulitnya yang putih selalu berubah menjadi merah ketika berada di luar ruangan. Kalimat marketing ”Berbeda atau ditinggalkan” sudah menjadi kalimat keramat dalam hidupnya. Mungkin kalimat itu juga yang didoktrinkan Ko Lau, ayahnya yang terkenal sebagai pengusaha elektronik glodok itu. Verdy selalu ingin mejadi seorang yang berbeda dari orang lain. Dia menamakan dirinya Distinctive atau Unique, bahkan dia selalu ingin menjadi Trandsetter.
”Tuh, sudah ditunggu!” Jawab Verdy, pria yang mirip sekali dengan tokoh Cing-He dalam serial drama Meteor Garden itu.
”Aku ke kampus dulu ya! Ada kuliah Risk Management!” Aku hanya mengangguk pelan. Dan Verdy pun segera menerobos terik matahari yang bergentayangan dengan cara berjalannya yang lucu. Dia memang termasuk tipe orang yang berjalan cepat. Tubuhnya yang tipis, sedikit membungkuk seperti pohon kelapa doyong di belakang rumahku.
”Nayas!!” Seorang pria gempal berkacamata memanggil namaku ketika ku longokkan kepalaku ke dalam kedai Es Pocong. Mata pria itu merah dan kusam seperti orang sakit mata. Rambutnya klimis berkilatan. Dan bibirnya hitam seperti kayu bakar yang telah menjadi arang. Jika diperhatikan benar wajahnya mirip bandit tak tahu diri yang sering berkeliaran mencari mangsa pungli di perumahan mewah para pejabat. Lihat saja kaosnya yang kedodoran, seperti karung putih santa klouse super kucel. Kak Bharata. Begitulah nama pria gempal itu. Yang lebih menjijikkan lagi adalah pria di samping kak Bharata yang dari tadi memasang senyum setan. Rambutnya gondrong acak-acakan, mukanya kusut seperti narapidana yang baru keluar bui. Hidungnya besar seperti bohlam 40 watt yang tergantung di belakang kamar kostku. Senyumnya sumringah tapi mengerikan naudzubillah.
”Halo Nayas!” sapanya dengan suara serak seperti suara penjahat dalam film-film gangster. Dia membuka telapak tangannya yang lebar dan segera menjabat tanganku yang masih panas dari sisa pembakaran ultraviolet. Mengerikan! Telapak tangannya begitu kasar. Sangat kasar seperti permukaan batu bata. ”Apa kabar?” Lanjut pria horror itu sok kenal.
”Baik...” Jawabku pendek dengan harapan dapat segera terlepas dari tangan menjijikkan milik pria horror itu. Kemudian dengan segera aku meraih telapak tangan kak Bharata yang tak kalah kasarnya. Aku duduk di kursi yag telah disediakan.
”Mau minum apa Yas?” Tanya kak Bharata ramah. Suara kak Bharata ternyata tidak sebandit wajahnya. Suaranya mencerminkan seorang terpelajar yang pekak terhadap dunia sosial. Orang miskin yang mendengar suaraanya akan menyangka itu adalah suara malaikat yang dikirim Tuhan untuknya. Beda halnya ketika kak Bharata berorasi. Suaranya mantap, tegas dan bulat laiknya orator sejati yang mampu membakar jiwa siapapun yang mendengarnya. Suaranya seperti virus ganas yang menyerang otak mendoktrin saraf utama sang pendengar.
”sama saja...” Jawabku pendek ketika melihat menu kak Bharata dan lelaki horror itu. Kak Bharata segera memesan menu, lelaki horror itu tetap saja memandangku dengan mata nanar. Aku dan lelaki horror itu masih saling diam sampai akhirnya kak Bharata kembali.
”Baik Yas, kenalkan ini sahabat saya, Sarimin, panggil saja mas Imin!” Hmp... hampir saja aku tidak bisa menahan tawa mendengar nama lelaki horror itu, kemudian dengan kemampuan aktingku, aku dengan sigap berpura-pura batuk agar tidak menyinggung perasaan pria horror bernama Sarimin itu. Sarimin? Pria horror itu bernama Sarimin? Sarimin pergi ke pasar... hehehe... seperti nama topeng monyet saja.
”Mas Imin ini penulis...” Lagi-lagi hampir saja aku tidak bisa menahan geli. Penulis? Dengan nama sarimin? hmp... nama yang tidak menjual. Buku mana yang akan laris di pasaran jika nama penulisnya saja menjadi bahan olok-olokkan.
”Kenapa? Kamu ingin tertawa mendengar namaku? Sudahlah Bhar, kita terbuka saja pada tamu terhormat kita ini. Nama asliku Sulistyo, Sarimin hanyalah namaku sebagai penulis. Ini adalah filosofi. Aku ingin memposisikan diriku sebagai seekor monyet. Biar pemerintah malu dikritik oleh seekor monyet. Hahaha....” Jelas pria horror itu diakhiri dengan tawa mengerikan, padahal pernyataannya itu sedikitpun tidak lucu. Malah aku ingin muntah dibuatnya.
”Buku terakhir yang ditulisnya adalah, ’Mari Berjudi dengan Penguasa’!” Tambah kak Bharata serius. Aku ingat judul buku itu. Senyumku mulai mengembang. Senyum paling menjijikkan yang pernah aku keluarkan.
”Boleh saya tebak? Buku itu tidak laris di pasaran, iyakan?” Sergahku enteng. Sarimin horror itu membelalakkan matanya. Duduknya yang santai berubah menjadi kaku. Matanya menatapku tajam. Penuh kebencian.
”Itu menurut hasil survei pada salah satu koran nasional beberapa bulan yang lalu, bukan menurut saya...” Jawabku dengan nada tenang.
”Oke... mm... kita langsung ke intinya saja...” Sergah kak Bharata mendinginkan suasana. ”Mas Imin ini punya sebuah rencana. Kamu tahu kan Yas, sudah banyak penulis hebat yang terlahir di dalam penjara? Ada penulis yang merampungkan dua puluh jilid bukunya justru ketika dia mendekam di dalam penjara. Ada yang bukunya menjadi best seller dunia padahal ditulis di tengah kegelapan penjara, dan...”
”Aku ingin dipenjara!!” Serobot pria horror itu memotong penjelasan kak Bharata. Orang yang aneh.
”Mood-ku akan optimal jika aku berada di dalam penjara! Kau pasti pernah mendengar kisah orang-orang sakti yang hanya akan mendapatkan ilham jika mereka bersemedi? Penjara adalah goa semedi yang cocok bukan? Hahaha... atau kau pernah mendengar tentang seorang karyawan yang bisa menyelesaikan pekerjaannya ketika berada dalam tekanan?”. Pria horror itu mengetukkan rokoknya. Abu sisa pembakaran rokoknya berjatuhan. ”Aku ingin dipenjara! Agar aku bisa melahirkan best seller di dalam penjara! Tapi aku harus mencari alasan agar aku dipenjara!” Mata pria horror itu kali ini seperti mata burung hantu. Ia menatapku tajam. Sangat tajam. Kemudian melanjutkan penjelasannya dengan suara berbisik, ”Agar aku dipenjara, aku akan menulis buku yang isinya tentang aib penguasa negeri kita, ya, hal itu akan membuatku dipenjara. Jika tidak ada penerbit yang mau menerbitkan buku itu, aku akan menerbitkannya sendiri”.
”Lalu apa hubungannya dengan saya?”
”Karena kamu anak hukum UI” Jawab lelaki berengsek itu mendekatkan wajah baunya ke arah muka ku.
”Masih banyak anak hukum UI yang lain, lalu kenapa harus saya?”
”Karena ayahmu seorang pengacara”
”Masih banyak anak hukum UI yang ayahnya seorang pengacara, bahkan ada juga anak seorang hakim bahkan jaksa muda?”
”Karena ayahmu Abdul Hamid, SH.”
”Apa hubungannya?”
”Aku mau minta bantuannya! Untuk sebuah rencana besar ini...” Aku memicingkan mataku sambil membetulkan letak kacamataku yang melorot.
”Kenapa harus ayah saya?”
”Karena dia telah mengambil hati masyarakat!”
”Maksudnya?”
”Nasarrudin Hamid... kamu ini belum mengerti juga ya? Aku tahu, ayahmu Abdul Hamid, SH berada di bawah naungan LBH yang selama ini banyak melayani permasalahan hukum rakyat kecil”
”Anda mau memanfaatkan ayah saya?”
”Bukan... aku hanya ingin minta bantuannya untuk melancarkan jalanku menuju penjara, itu saja...” Pria horror itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Kemudian dengan ganas menyemburkan asapnya yang penuh racun itu seperti naga memuntahkan api.
”Kamu tahu siapa aku kan? Aku adalah orang yang sedang membuka borok dan aib pemerintah. Aku adalah seorang yang sedang melawan pemerintah. Dan aku mengatasnamakan rakyat. Jangan tanya rakyat yang mana! Karena aku sendiri adalah seorang rakyat! Dan orang-orang seperti aku adalah orang-orang yang banyak mendapat dorongan dan pembelaan dari rakyat, Ormas, aktivis, LBH atau organisasi-organisasi lain yang sudah muak dengan pemerintah. Singkatnya, akan ada banyak orang yang mendukungku. Mereka akan membelaku sebagai seorang pahlawan. Sudah tidak aneh lagi kan seseorang yang mengkritik pemerintah akan didukung habis-habisan oleh rakyat, terlebih oleh mahasiswa seperti kalian. Tapi justru aku tidak menginginkan hal itu. Karena dukungan dan pembelaan mereka akan menghadang jalanku menuju penjara”. Orang aneh. Manusia normal tentu saja tak mau dipenjara. Tapi pria horror itu malah sebaliknya. Orang Stress.
”LBH ayahmu adalah LBH yang selalu berpihak pada kepentingan rakyat kecil. LBH ayah mu selalu melindungi hak-hak hukum rakyat, maka tak heran, kalau sebagian kalangan menganggap bahwa LBH ayahmu adalah milik rakyat. Aku yakin, atas jasa-jasa LBH ayahmu pada rakyat, akan membuat rakyat selalu berada di pihak LBH ayahmu, bukan hanya karena hutang budi, tapi lebih karena mereka sudah percaya bahwa LBH ayahmu selalu dipihak mereka. Dengan kata lain, apapun yang dikatakan LBH ayahmu, rakyat akan setuju karena mereka percaya LBH ayahmu di pihak mereka. Untuk itu, aku ingin minta bantuan ayahmu dan LBH nya untuk tidak terlalu membelaku nanti dipersidangan, dengan demikian, jika LBH ayahmu tidak membelaku,maka terkesan rakyat pun tidak membelaku, dan itu akan memudahkan jalanku menuju penjara”.
”Hukum bukan berpihak pada banyaknya pendukung, tapi...”
”Aku tahu Nayas... sekali lagi aku katakan bahwa aku ingin mempermudah JALANKU menuju penjara, bukan untuk membuatku dipenjara. Kamu ini seorang terpelajar, aku yakin kamu mengerti. Ini tentang proses, bukan tentang alasan...” Jelas pria horror itu yang memaksaku untuk mengakui kekagumanku pada kalimat terakhirnya.
”Bagaimana Nayas?” Tanyanya berharap. Sial. Pria horror yang cerdas. Dia pasti sengaja tidak mendatangi ayahku langsung untuk meminta bantuannya karena dia tahu aku adalah teman dekat kak Bharata. Dia sengaja menjebakku. Dia memaksaku untuk menerima tawarannya karena aku harus menghormati kak Bharata yang membawanya padaku. Aku memang merasa tidak enak pada kak Bharata jika harus menolak. Aku masih diam. Bukan karena tidak bisa menjawab, tapi karena aku tidak enak pada kak Bharata. Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Kak Bharata juga diam. Kak Bharata hanya menjadi seorang moderator kali ini. Oh ya, moderator. Kak Bharata hanya moderator, itu artinya dia tidak berpihak pada siapapun. Aku yakin, kak Bharata adalah orang yang cerdas, dia pasti akan mengerti jika aku harus...
”Jangan khawatir! Ayahmu tidak akan sendiri! Aku sudah menyewa banyak pengacara untuk memudahkan jalanku menuju penjara. Mereka sudah setuju dengan rencanaku... Bagaimana?”
”Hmp... maaf, ayah saya dan LBH nya sekarang sedang sibuk mengurusi hak-hak hukum buruh di kotaku. Jadi tak ada waktu untuk permainan semacam ini”. Jawabku sekenanya. Pria horror itu terbelalak. Dia memperbaiki sikap duduknya.
”Maksudmu?”
”Belum mengerti juga ya? Saya tolak tawaran anda!” Pria horror itu ternganga. Dia melihat ke arah kak Bharata kemudian kembali mengalihkan pandangan ke arahku. ”Jadi kamu menolak?”
”Ya, sudah jelas kan?” Pria horror itu kembali melongo. Dia memutar-mutar batang rokok di jari-jarinya.
“Ok… Cuma kamu yang nolak, belum tentu ayahmu dan LBH nya menolak kan?”
"Hmp... saya yakin, ayah dan LBH nya tidak akan punya waktu untuk rencana anda yang kekanak-kanakkan itu”. Jawabku kasar. Pria horror itu hampir saja bangkit dari duduknya. Dia semakin terlihat geram. Kak Bharata mulai bergerak. Mungkin gerakan refleks dari kekagetan.
”Apa?”
”Ya, itu hanya sebuah rencana bodoh! Aku yakin, hanya orang bodoh yang mau mengikuti rencana bodoh anda!” Jawabku semakin kasar.
”Bedebah kau Yas...” Teriak pria horror itu akhirnya bangkit dari duduknya. Kursi yang tadi didudukinya terjungkal. Semua orang di kedai es Pocong menumpahkan pandangannya ke arah kami. Kak Bharata ikut berdiri mencoba menenangkan pria horror itu.
”Aku tidak menyangka Bhar, cecunguk ini punya nyali juga...” oceh pria horror itu mengumpat.
”Siapa cecunguk yang punya nyali itu? Saya ataukah anda?” Tanyaku enteng sambil masih dalam posisi duduk. Pria horror itu bertambah gusar. Matanya semakin terbelalak. Gerakkan refleks nya itu mungkin saja berniat menghajarku kalau tidak ada kak Bharata di sampingnya. Kak Bharata memegang pundak besar pria horror itu. Mencoba menenangkan.
”Anak ingusan ini benar-benar bedebah Bhar... sebuah musibah untuk UI... Musibah Bhar....” gerutu pria horror itu mencoba menahan emosi yang meletup-letup di dadanya. Matanya masih menusukkan pandangan benci ke arahku yang masih duduk santai.
”Baru kali ini aku dihina bedebah ingusan! Sebelum kesabaranku habis, lebih baik aku permisi dulu Bhar!” Pria horror itu mulai melangkahkan kaki besarnya.
”Tapi Mas...” kak Bharata berusaha mengejar.
”Sudahlah Bhar! Kau urus saja cecunguk sialan itu...” Kak Bharata akhirnya membekukan kakinya yang tadi berusaha mengejar pria horror itu—yang kini lenyap dari kedai es pocong. Kak Bharata tertunduk. Beberapa detik. Kemudian dia membetulkan kursi yang tadi dijungkalkan pria horror itu.
”Kak...” aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk membuka kata.
”Kita kembali ke kampus!” Jawab kak Bharata dingin tanpa memandangku. Celaka! Itu adalah kalimat terpendek yang pernah aku dengar dari mulut kak Bharata—selain kalimat yang terpotong. Jangan-jangan dia marah. Bukannya tadi dia hanya menjadi moderator? Seharusnya tak ada alasan untuk marah karena seorang moderator tidak mempunyai hak berpihak pada siapapun. Celaka. Sikapnya masih dingin. Sepertinya dia kecewa besar. Aku menyesal. Bukan karena menolak tawaran pria horror itu, tapi karena aku telah membuat kak Bharata kecewa. Bagaimana ini?
”Mas Sarimin itu pengecut kak!”. Aku berusaha menjelaskan alasan kenapa aku tadi bersikap kasar. Kak Bharata menghentikan langkahnya. ”Dia hanya bisa mencari kesalahan dan aib orang lain termasuk aib pemerintah dalam tulisannya, namun ketika saya membuka aib bukunya yang tidak laku itu, dia memperlihatkan ekspresi kebencian luar biasa pada saya. Dia hanya bisa sok pintar dengan menganggap mudah segalanya, tapi saat saya ’bodoh’kan rencananya itu dia tidak terima. Dia hanya bisa mengkritik orang lain termasuk pemerintah di dalam karya-karyanya, tapi saat saya kritik rencana busuknya itu, dia malah marah-marah. Dia seorang pecundang kak!! Keinginannya untuk dipenjara itu, saya yakin bukan untuk mengoptimalkan mood-nya—persetan dengan mood—semua itu sekedar sensasi agar bukunya laris seperti dia membuat sensasi dengan namanya yang sok filosofis itu. Jika dia ingin dipenjara, kenapa harus susah-susah membuat buku yang menghina penguasa kemudian menerbitkannya sendiri? Kenapa tidak mencuri saja? Atau mermpok? Atau menjambret? Jawabannya hanya satu, yaitu karena mencuri, merampok atau menjambret tidak akan membuat sensasi. Iyakan, kak?” kak Bharata mengambil nafas dalam-dalam. Lubang hidungnya yang seperti goa siluman turun-naik. Auranya memancarkan kekecewaan yang luar biasa dan semakin menjadi-jadi. Pandangannya yang kosong mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang ingin dia keluarkan. Sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan oleh logika seorang bedebah seperti aku. Kak Bharata menatapku ragu. Sebuah pandangan yang mengkhawatirkan. Bibirnya yang legam mulai bergerak ragu. Sama ragunya dengan pandangan dinginnya,
”Yas, kamu juga sombong! Kamu sok menguji orang lain. Sudahlah! Kita kembali ke kampus! Kamu masih ada kuliah, kan?” Kak Bharata melangkah pelan. Sedikit gontai seperti berat oleh beban kekecewaan. Tidak bisa kupercaya. Kalimat itu keluar dari mulut seorang kak Bharata. Sombong. Kak Bharata menyebutku sombong. Sungguh. Baru pertama kali aku mendengar kak Bharata sekasar itu.
”Tapi kak...”
”Kenapa? Kamu tidak menerima juga aku kritik? kamu tidak terima kritikkanku? Heh? Kalau begitu apa bedanya kamu dengan Mas Imin?”
Shite. Kalimat kak Bharata menyentak di dadaku. Seketika lidahku kelu. Aku tidak bisa mengelak. Itu sebuah kalimat Boomerang. Sungguh. Aku tak bisa bicara lagi. Sial.


Baca Selengkapnya dalam novel : namaku_senja NOVEL KEDUA GUE NEH... DAPATKAN SEGERA!!!!

Baca Selengkapnya......

Katakanlah : Cinta Dapat Damaikan Dunia

Intro : F#m D A E 4x

Masihkah ada rasa ataukah hanya logika
Yang terendap dalam setiap lubuk jiwa
Mungkinkah ada cinta ataukah hanya sebatas
Kata yang berdasar hanya pada logika

Bridge : Apakah selama ini kita terlalu mengandalkan otak kita
Sehingga lupa bahwa sesungguhnya kita punya hati


Reff : Katakanlah bahwa memang sungguh cinta
Dapat damaikan dunia
Yakinilah bahwa memang sungguh cinta
Dapat eratkan tangan kita
Sebarkanlah setiap desah nafasmu
Dengan cinta biar kita tahu……


Dan hentikanlah saja segala unjuk kekuatanmu
Bahkan tak cukup hanya logika semua harus sejalan dengan cinta

Coda :

Sesungguhnya pada diri setiap manusia terdapat rasa cinta seutuhnya
Hanya saja kita selalu enggan untuk mengeksplorasinya
Sungguh amatlah merugi….


Lagu ini dulu aku persembahkan untuk para korban perang Irak, dan sekarang juga kupersembahkan untuk Perang Palestina

Baca Selengkapnya......

Kado Ulang Tahun Untuk Neza

Sekali lagi pandanganku tidak bisa terlepas dari bingkisan berbentuk balok dengan hiasan pita merah muda di setiap sisinya yang masih tergeletak di atas meja belajarku. Beberapa sobekan kertas tampak berserakan di sekeliling bingkisan yang berukuran cukup besar itu. Sobekan kertas yang tadi sempat menjadi objek pelampiasan amarahku.
Ya, sobekan kertas itu sebenarnya berasal dari secarik surat yang aku temukan bersama bingkisan besar itu saat aku baru saja terbangun dari tidur. Memang, lupa mengunci pintu kamar adalah kebiasaan buruk yang tidak bisa aku hilangkan sehingga mungkin seseorang masuk ke kamarku secara diam-diam kemudian menyimpan bingkisan dan secarik surat itu di atas meja belajarku ketika aku pulas tertidur.
Setelah aku sadar bahwa tulisan di muka amplop itu adalah tulisan tangan ayah, dengan spontan aku merobek-robek surat itu sehingga menjadi sobekan-sobekan kecil tanpa sempat aku membaca isi dari surat itu. Aku tahu membenci ayah kandungku sendiri adalah kesalahan terbesar. Tapi aku tahu aku punya alasan yang jelas untuk itu. Alasan untuk aku membenci ayah.

Aku masih memeluk lututku sendiri sehingga tampak seperti menggigil di atas lantai dengan membiarkan salah satu dinding kamar menopang tubuhku yang mulai lunglai ketika tiba-tiba waktu mem-flashback-ku kembali ke peristiwa tadi malam yang sempat membuat aku merasa telah melakukan kesalahan terbesar sepanjang hidupku



“Ayah sudah tidak sayang Neza lagi!!” Teriakku tepat di hadapan sesosok lelaki berbadan bulat yang tadi tampak seperti menenggelamkan wajahnya di balik Koran sore yang sedang asyik dibacanya. Mata bulat yang bersarang di balik lensa kacamata pipihnya mengekspresikan kekagetan yang luar biasa. Aku mengerti. Seandainya aku berada pada posisi ayah saat itu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama—terbengong heran dengan mata melotot dan mulut ternganga lebar. Siapa yang tidak kaget, sedang asyik-asyiknya membaca Koran, tiba-tiba seseorang masuk rumah sambil ngomel-ngomel tanpa alasan yang jelas.

“Kemana saja ayah sepanjang hari ini? Neza tunggu sampe jam sembilan malam, tapi ayah belum pulang juga! Biasanya pulang jam lima sore, kan?” Omelku dengan nada tinggi dan terkesan datar.

“Kamu sendiri habis dari mana jam segini baru pulang?” Tanya ayah sambil perlahan melipat Koran sore yang tadi asyik dibacanya kemudian memeriksa jam yang melingkari batang lengan kirinya dan memperlihatkannya padaku, “Tuh lihat! Jam sebelas malam!”

“Neza abis dari rumah Anggie! Neza capek nungguin ayah! Empat jam Neza berharap ayah segera pulang sekedar nemuin Neza dan ngucapin…” Kata-kataku tampaknya mulai terpotong. Sepertinya nafasku mulai terasa sesak dan beberapa tetes mata mulai mendobrak kelopak mataku yang terkesan lelah. Kemudian aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan sebelum akhirnya melanjutkan, “Hmp… Udahlah! Mungkin memang Tante Dessy lebih berharga di mata ayah daripada Neza”

“Neza!!” Bentak ayah dengan memasang mata tajam yang seolah siap menusuk retina mataku.

“Loh? Terus apalagi kalo bukan Tante Dessy? Neza cuma mau bilang, kalo Tante Dessy itu ngga akan pernah bisa gantiin almarhumah Bunda! Buat Neza, Bunda hanya ada satu dan ngga akan pernah bisa digantiin siapapun, termasuk tante Dessy!!”

Bola mata ayah tampak bergerak-gerak ke berbagai sudut matanya. Dia masih terduduk kaku di atas sofa dengan pandangan yang tak tentu.

“Ayah pasti lupa kalo hari ini adalah hari Ulang tahun Neza kan?! Sepanjang hari ini, Neza nunggu ayah ngucapin Selamat Ulang tahun buat Neza! Tapi ternyata semuanya sia-sia aja! Ayah yang ada di hadapan Neza sekarang bukanlah ayah yang sembilan tahun lalu ngasih kebahagiaan buat Neza! Ayah udah berubah!” Kembali aku tidak bisa menahan air mata yang lagi-lagi menerobos kelopak mataku yang semakin lelah. Ya, aku memang terkenal sebagai gadis cengeng diantara sahabat-sahabatku. Tapi aku tahu, aku punya alasan jelas untuk semua itu.

“Ayah masih inget? Ayah masih inget waktu itu? 15 agustus sembilan tahun yang lalu? Setelah merengek berkali-kali, akhirnya ayah mengabulkan keinginan Neza untuk merayakan Ulang Tahun di pantai! Ayah tahu benar Neza begitu tergila-gila dengan laut! Berkali-kali ayah menakuti Neza dengan mengarang cerita bahwa di laut banyak berkeliaran Bajak Laut yang suka menculik anak-anak dengan harapan Neza mengurungkan niat untuk merayakan Ulang Tahun di pantai. Tapi Neza tidak takut sedikitpun. Neza tetap merengek, hingga akhirnya selasa pagi di hari Ulang Tahun Neza itu, Ayah, Bunda dan kak Naya benar-benar menghadiahkan laut buat Neza. Akhirnya pesta Ulang Tahun di pantai yang selalu menjadi impian Neza benar-benar terjadi. Meniup lilin, menyanyikan lagu Ulang Tahun dan memotong tar diantara suara ombak” Aku mulai memaksakan senyum. Senyum yang terkesan begitu kesat.

“Di tengah Pesta Ulang Tahun Neza, tiba-tiba ayah tertawa lebar dengan suara serak yang mengerikan sambil berbisik dengan suara berat ayah yang khas, ‘Aku adalah Bajak Laut!!’ Neza menjerit ketakutan dan berlari menghampiri bunda. Ayah terus saja mengejar Neza dengan tetap menutup mata sebelah kiri ayah dengan telapak tangan persis menirukan gaya Bajak Laut sambil tak hentinya tertawa mengerikan. Ayah akhirnya berhasil menangkap Neza dan melemparkan Neza ke tengah-tengah gulungan ombak. Begitu juga kak Naya dan Bunda, mereka tercebur oleh dorongan ayah. Sambil terawa lebar, Neza melempari ayah dengan pasir. Begitu juga dengan kak Naya yang berusaha menceburkan ayah sambil tak hentinya tertawa lepas. Bunda hanya menyirami ayah dengan air sambil sesekali menjerit menahan tawa.

“Hmp… dengan jelas Neza bisa melihat senyum ayah, Bunda dan kak Naya waktu itu. Seperti melihat kebahagiaan yang belum tentu dapat dilihat oleh setiap anak berusia tujuh tahun . Ya, Neza merasa bahwa Neza adalah anak berusia tujuh tahun yang paling merasa bahagia saat itu.

“Tapi apa ayah tahu apa yang Neza rasakan hari ini? Apa ayah tahu apa yang Neza rasakan di hari Ulang Tahun Neza sekarang? Apa ayah tahu kalo Neza yang sekarang ternyata bukanlah Neza yang sembilan tahun lalu melihat kebahagiaan di depan matanya? Ya, Neza yang sekarang bukanlah gadis berusia tujuh tahun yang sempat merasa dirinya paling bahagia seperti sembilan tahun silam. Apa ayah tahu kalau Neza merasa kehilangan semuanya? Kehilangan senyum ayah yang dengan semangat mengangkat tubuh Neza dan melemparkannya ke tengah-tengah gulungan ombak. Kehilangan senyum kak Naya yang tak hentinya berusaha menceburkan ayah ke dalam ombak padahal Neza tahu benar bahwa kak Naya begitu membenci sesuatu yang berasa asin. Kehilangan senyum kecil Bunda yang takut basah. Neza kehilangan semuanya. Semuaya Yah! Kehilangan semua kebahagiaan yang direnggut waktu!” Aku tidak bisa menahannya. Tiba-tiba aku berlari meninggalkan ayah yang masih terduduk kaku di atas sofa. Aku berlari menuju kamar, menutup pintu keras-keras dan menangis di balik bantal sebelum akhirnya waktu kembali mengembalikanku pada keadaan semula. Keadaan dimana aku tak bisa memalingkan pandanganku dari bingkisan berbentuk balok dengan hiasan pita merah muda di setiap sisinya yang masih tergeletak di atas meja belajarku. Beberapa sobekan kertas masih tampak berserakan di sekeliling bingkisan yang berukuran cukup besar itu.

Kali ini aku mulai mendekati bingkisan itu, kemudian perlahan membukanya dan kudapati sebuah miniatur kapal Bajak Laut di dalam bingkisan itu

Air mataku semakin tak bisa terbendung. Bahkan tak ada sesuatu pun yang sanggup menghentikannya. Perlahan aku mulai memaksakan senyumku, “Hmp… Bodoh! Darimana ayah dapatkan benda seperti ini! Mana ada toko yang buka sampai tengah malam!”

Tiba-tiba mataku terbelalak seperti sesuatu telah membukakan logika dalam otakku.

“Tengah malam? Oh iya! Kejadian kemarin itukan jam sebelas malam! Kalo memang benar ayah lupa hari Ulang Tahunku, berarti hanya ada satu kemungkinan…” Aku tampak memasang gaya detektif. Sambil mengerutkan kening dan memegang dagu, aku mulai berpikir layaknya Sherlock Holmes abad ini. “Ya, hanya ada satu kemungkinan, yaitu membeli kado Ulang Tahun setelah kejadian itu. Dengan kata lain ayah membeli kado ini pada tengah malam! Itu mustahil! Mana ada toko yang masih buka pada tengah malam! Jangan-jangan ayah memang tidak lupa hari Ulang Tahunku! Jangan-jangan kado ini sudah ada sebelum aku ngomel-ngomel! Ya, ayah pulang terlambat mungkin gara-gara nyari hadiah Ulang Tahun Buatku. Terus nyimpen kado ini waktu aku ke rumah Anggie. Oh iya! Kalo tidak salah setelah ngomel-ngomel itu aku bergegas ke kamar, menutup pintu keras-keras dan menagis di balik bantal hingga akhirnya tertidur ? Pantas saja aku tidak sadar bahwa di atas meja belajar sebenarnya sudah ada bingkisan ini ketika aku berlari, masuk kamar dan menangis di balik selimut. Tapi… Jika benar ayah tidak lupa hari Ulang Tahunku, kenapa dia tidak menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat seperti beberapa tahun terakhir ini? Ya setidaknya melalui SMS!” Aku mulai menahan tawa

“Bodoh!!” Kataku dalam hati

Baca Selengkapnya......

Senin, Januari 12, 2009

Sunset @ The East

Sunset @ The East

Foto ini diambil dari kantor gue di Gedung The East lantai 15 Lingkar Mega kuningan, Jakarta Selatan
pada 13 Desember 2008 sekitar jam 17.30 WIB
dengan menggunakan kamera HP SE W850i, 2 MP

Baca Selengkapnya......

Jumat, Januari 09, 2009

Astini Jalang


Perkenalkan!
Namaku Astini! Kalian bisa memanggilku Asti, Tini, Astin, Estin atau apalah itu terserah kalian! Buatku, nama hanyalah sebuah kata untuk membedakan aku dan kalian. Namaku tak menjadi spesial dengan gelar yang mengawali atau mengikutinya. Namaku hanyalah kebanggaan ketika kelak Tuhan memanggilku dengan lembut. Bahkan aku tidak tahu Tuhan akan memanggilku apa! Asti, Tini, Astin, Estin, atau mungkin dengan nama lengkap: Astini?
Jangan tanya nama panjangku, sayang! Mungkin dulu, pada saat aku lahir, orang tuaku sedang tak ada mood untuk mengarang nama yang panjang! Jadi cukup Astini, Astini saja, sayang!
Sesederhana namaku, sederhana pula tujuanku. Kalian tahu? Aku jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mencari secuil kebahagiaan yang sudah menjadi barang langka di desaku. Kebahagiaan yang dulu ditawarkan oleh cecunguk-cecunguk yang kucinta, seperti mereka menjanjikan sebungkus permen loly yang akan mereka berikan padaku, kini telah lenyap. Kebahagiaan itu dulu memang sempat ada, walaupun hanya dalam bentuk harapan, tapi kini sungguh-sungguh lenyap! Ya, lenyap sayang! Sehingga aku sempat lupa bahwa dulu aku pernah merasakan bahagia, walaupun hanya dalam bentuk harapan kosong.
Kebahagian pertama dicuri pacarku. Dia menjanjikan cinta, dia membingkis cinta itu dalam kado yang saaaangat indah, lalu atas nama cinta dia persembahkan kado itu, atas nama cinta dia memegang tanganku, atas nama cinta membelai rambutku, atas nama cinta dia menciumku, atas nama cinta dia meraba tubuhku, dan atas nama cinta dia membuka bajuku satu persatu, satu persatu, dan satu persatu, atas nama cinta juga dia membaringkanku, dan barangkali atas nama cinta juga dia menanam benih sialan ini dalam perutku, celakanya lagi atas nama cinta juga dia pergi meninggalkanku dengan membawa serta kebahagiaan kosong itu.
Lalu kebahagiaan kedua? Ia lenyap bersama datangnya cinta itu sendiri. Kukira cinta itu datang membawa kebahagiaan, tapi ternyata malah sekaligus merenggutnya.
Begini ceritanya sayang, seorang pria dengan wajah sendu sesendu malaikat penolong datang tawarkan cinta yang sangat manis, bahkan terlalu manis. Dia bersedia tawarkan cinta padaku. Pada jabang bayi dalam perutku. Dia adalah dewa kebahagiaanku saat itu, sayang. Sebuah kebahagiaan yang berlebihan mungkin. Satu hari, dua hari, satu minggu, dua bulan semuanya adalah keindahan. Hari ke hari perutkupun semakin buncit. Di jabang bayi menendang-nendang perutku. Sedikitpun tak terasa sakit yang ada hanya kebahagiaan. Hingga datanglah hari itu, hari yang merenggut kebahagiaan keduaku : Seorang wanita paruh baya menunjuk-nunjuk hidungku dan berteriak,
"dasar wanita jalang! Wanita jalang! Perebut suami orang! Jalang!"
Dan kebahagiaan itupun hangus.
Lalu kebahagiaan ketiga? Tak jauh beda, sayang! Begitu juga keempat dan kelima. Terakhir, keenam dan ketujuh pun begitu.
Sekarang aku berdiri di sini, sayang. Tak ada tujuan lain, selain mencari kebahagiaan kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan seterusnya. Apakah kau ingin menjadi bagian dari kebahagiaanku, sayang?


Baca Selengkapnya......

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com