Selasa, Januari 20, 2009

Perburuan Senja


Jika aku harus mendeskripsikan bagaimana bentuk sayap malaikat, maka aku cukup tunjuk saja bibirnya. Ya, aku memang tidak pernah tahu bagaimana bentuk sayap malaikat, tapi setidaknya aku yakin bahwa bibir gadis yang saat ini terbaring di atas pangkuanku itu memang setipis sayap-sayap malaikat. Bibirnya adalah sebuah keindahan yang tak terbayangkan dalam imajinasi manusia. Rambutnya sehitam bayangan angin yang tak pernah bisa terlukis oleh tanah.
Namanya Lia.
Tapi aku biasa menyebutnya presiden negeri senja nomor dua, karena tentu saja presiden negeri senja nomor satu adalah aku.

Sebenarnya aku sudah memintanya untuk menjadi wakil presiden saja, biar aku presidennya, tapi gadis berbibir sayap malaikat itu memang keras kepala, dia tetap ingin menjadi presiden negeri senja kami.
Hmm.. Dia memang keras kepala. Aku jadi ingat pada hari yang kami sebut sebagai hari pertama perburuan senja.
Saat itu aku gelisah. Mondar-mandir di sudut sebuah minimarket.
Mata yang bersarang dibalik kacamata jadulku tak henti melepaskan pandangan ke arah gadis keras kepala itu. Dia sedang sibuk mempreteli cadburry, toblerone, silverqueen, ice cream walls pada rak-rak minimarket itu. Tujuan kami memang sama: berburu senja. Tapi perburuan senja gadis itu hanya untuk menikmati wisata kuliner di bawah naungan senja yang menyelimuti langit. Aku lain lagi. Perburuan senjaku tak lain hanya untuk mengabadikan senja merah itu dalam kamera pocket baruku yang baru aku beli dari gaji pertamaku. Sudah cukup lama memang aku menantikan saat ini. Aku memang sering menikmati senja, tapi ini adalah kali pertama aku coba untuk mengabadikannya dalam kamera baruku itu. Hmm.. Sebenarnya bukan kamera baru, kamera itu adalah kamera second yang aku beli di salah satu toko elektronik di mangga dua. Yang kumaksud baru disini adalah bahwa kamera itu baru saja aku miliki. Ya, sekali lagi: baru aku miliki.
Entah berapa menit aku mondar-mandir gelisah di sudut minimarket itu. Bagiku satu menit seperti satu tahun, ah tidak, mungkin satu abad. Ketakutan tak bisa mengabadikan senja, ternyata mampu menjungkalkan waktu. Bayangkan! Menit bisa menjadi abad.
Dan kini ketakutan itu menggerogoti otakku. Berkali-kali aku menggigit bibir, gelisah seperti seorang calon ayah menunggu kelahiran buah hatinya di lorong rumah sakit bersalin. Beribu sumpah serapah meluncur dari dalam mulutku mengutuki gadis itu dan diriku sendiri. Sebenarnya bisa saja aku meninggalkan gadis itu, tapi itu malah akan menimbulkan bencana yang lebih besar. Jika aku sampai meninggalkan gadis itu, bisa-bisa dia melapor pada ayahku. Dan semua orang tahu tentang kekejaman ayahku. Bisa-bisa aku diceramahinya selama dua puluh empat jam,
"Kamu ini mau jadi apa? Berani-beraninya meninggalkan tunanganmu sendiri di minimarket dan membiarkannya pulang sendiri naek angkot, terlalu kamu sep". Kira-kira begitulah petikan ceramah kejam ayah itu. Ah aku tak sampai hati mengecewakan ayah, dan jujur, aku pun tak rela kalau gadis itu harus pulang sendiri naik angkot. Hal itu yang membuatku mengutuki diriku sendiri.
Gadis itu tengah memilah beberapa spagethi instan di rak minimarket ketika kesabaranku mulai hilang. Dengan sorot mata pembunuh, aku menghampirinya, menarik tangannya sehingga beberapa spagethi berbungkus streoform itu berjatuhan. Aku tak peduli. Aku terus menarik tangannya. Pemberontakkan gadis itu tak mampu melepaskan tangannya dari cengkraman tanganku.
"ipung, lepaskan! Aku masih butuh spagethi itu!"
Aku menghentikan langkah, kemudian membalikkan badanku ke arahnya sehingga mata kami beradu pandang.
"Jadi spagethi itu lebih berharga daripada senja? Sekarang sudah jam setengah enam sore! Tak ada waktu lagi!" omelku dingin, kemudian kembali menarik tangannya hingga tepat di depan kasir.

*****

Entah berapa kecepatan Honda tua yang ku pacu itu. Speedometernya sudah tak berfungsi. Mungkin sekitar 40 km/jam, karena memang itulah kecepatan maksimal motor butut berplat nomor merah milik ayahku ini.
Lia memegang jaket kasarku dengan erat dari belakang. Dia tak mau ambil resiko jika nanti ada jalan berlubang lagi yang kulindas, bisa-bisa dia terlempar, seperti tadi tanpa sengaja sebuah lubang menjerumuskan roda motorku sehingga plat nomornya terjatuh dan beberapa bagian motor rontok. Untuk itu Lia mencengkeram erat jaketku dengan wajah cemas. Sebuah kecemasan yang menambah indah wajahnya.
"Ah, sial!" umpatku setelah kulihat langit semakin gelap. Tampaknya malam mulai melahap cahaya keemasan senja. Sambil memacu honda bututku, sesekali aku menoleh ke arah kananku, memastikan senja belum habis dilahap malam. Inilah yang aku sebut sebagai perburuan senja. Aku harus bergulat dengan waktu, demi mengabadikan senja dalam kamera second ku. Waktu seperti perampok yang sedang berusaha mengambil senja, satu-satunya harta yang ku punya. Terkadang waktu adalah penjahat nomor satu bagi pecundang seperti aku.
"disini saja, pung! Tak usah di negeri senja! Sepertinya kita terlambat!" saran Lia agar aku memotret senja di tempat itu. Bukan di negeri senja.
"Tahu apa kamu tentang seni angel sebuah objek pemotretan? Tak ada tempat yang lebih indah daripada negeri senja di dunia ini! Negeri senja adalah keindahan seni yang tak bisa ditemui di tempat manapun di dunia ini!" Teriakku sambil tetap memacu honda rongsokku.
"celaka!" mataku menangkap malam yang tak henti menggerogoti senja dengan ganas dari berbagai sudut.

Dalam hitungan menit, habis sudah semburat merah kekuningan bernama senja itu berganti menjadi langit hitam yang mencengkeram setiap mata manusia di bumi.
Tubuhku lemas. Tak sanggup lagi memacu motor honda astrea antikku.
Lihatlah lututku, sudah seperti fosil bambu yang hidup jutaan tahun lalu. Rapuh. Sangat rapuh. Terlalu rapuh malah. Ah, Entahlah. Pertanyaan pertama yang tak pernah ada jawabannya di dunia adalah: kenapa aku menjadi begitu lemah ketika keinginanku mengabadikan senja tak terwujud? Ah, itulah alasan kenapa aku menyebut diriku pengecut.
"sudah kubilang tak usah di negeri senja kan?" celoteh lia sambil memijit kakiku yang berselonjor ketika aku duduk di pinggir jalan tanpa trotoar.
Aku tak menjawab.
Aku hanya memandanginya. Memandangi wanita berbibir sayap malaikat itu.
Jarang sekali bibir itu mengucapkan "I love you" untukku. Tak apa. Buatku kalimat british itu tak terlalu penting. Yang terpenting adalah: bahwa dia mau menerimaku apa adanya. Dia mau mencintaiku walau dia tahu bahwa aku ini miskin, bahwa tampangku biasa saja, bahwa aku malas mandi, bahwa aku egois, bahwa aku pecemburu, bahwa aku penghayal, bahwa aku sok idealis, bahwa tubuhku kurus tak karuan, bahwa pekerjaanku hanya sebagai seorang callcenter, bahwa ayahku enam bulan lagi pensiun, bahwa motor ayahku bututnya minta ampun, bahwa pagar rumahku hanya terbuat dari bambu keropos, bahwa ibuku pendiam. Cukup dengan semua itu, sehingga kata-kata mutiara seperti dalam novel atau film roman sudah tak kubutuhkan lagi.
Aku yang tadi lemah dan payah karna tak bisa mengabadikan senja dalam kameraku, sekarang mulai bangkit. Inilah pertanyaan kedua yang tak pernah kutemui jawabannya di dunia: kenapa aku menjadi semangat setiap kali memandangi wajah gadis itu?
Aku mulai memacu kembali motor bobrokku. Sial. Malam sudah cukup lama menyelimuti kami. Tapi lagi-lagi. Lampu motorku mati.
Lia tahu benar apa yang harus dilakukannya saat lampu motorku mati. Dia lari ke bagian depan motorku dan tanpa basa-basi melayangkan tinjunya ke arah lampu depan motorku. Belum menyala. Tinju keduapun melayang. Ajaib. Lampu motorku akhirnya menyala. Tawa kami pecah. Memecahkan malam yang sudah merebut senja dariku.
Meninju lampu motorku adalah pekerjaan favoritnya.
Jika memang akhirnya lampu motorku itu menyala saat tinju lia mendarat, bukan karna tangan atau tinjunya ajaib mengandung magis. Tapi aku tahu benar karna ada kabel lampu yang tak beres. Aku sengaja tak membetulkannya, dengan harapan selalu bisa melihat tawa ceria gadis itu setiap kali mendaratkan tinjunya agar lampu menyala. Tawanya memang mampu mengobati telingaku yang sering disakiti oleh suara horor motor reyotku itu.
Aku memacu honda butut yang lampunya tak seterang cahaya lilin itu sambil berjanji di dalam hati: besok harus lebih awal. Harus!

***

"Berburu senja!" jawabku melontar alasan kenapa aku tidak masuk kerja hari ini.
Supervisorku melongo di ujung telepon. Aku sengaja menelepon kantor meminta ijin hari ini aku tak masuk kerja dengan alasan gila: 'berburu senja', yang membuat supervisorku melongo bego.
Aku menutup telepon. Tanpa ucapan terimakasih. Tanpa kalimat penutup. Tanpa salam. Gila. Benar-benar gila. Pertanyaan ketiga di dunia yang tak ada jawabannya: kenapa aku jadi gila untuk senja? Ah, apa peduliku.
Lia rupanya sudah menungguku. Lengkap dengan persediaan kulinernya. Hari itu kami berangkat lebih awal. Jam tiga sore sudah tiba di negeri senja. Matahari masih cukup menyengat. Belum ada tanda-tanda senja. Ah, biarlah. Daripada terlambat lagi. Kami segera menggelar persediaan kuliner yang dipersiapkan gadis malaikat itu. Wangi dari beberapa makanan itu segera merebak ke segala penjuru negeri senja.
Negeri senja adalah sebuah jalan menikung yang salah satu sisinya adalah tebing yang mengkhawatirkan. Dari sisi itu terlihat jelas hamparan luas kota kecil bernama Purwakarta. Sisi ini hanya dibatasi barisan pagar besi berkarat yang sudah terkoyak dan diselimuti beberapa jenis tumbuhan jalar yang merambati pagar mengenaskan itu persis pagar-pagar kastil. pagar itu sudah tak sanggup lagi berdiri sehingga miring ke salah satu arah, padahal peran pagar itu sangat penting untuk mencegah kendaraan loncat ke jurang dari jalan yang menikung tajam itu. Sisi lainnya dari negeri senja adalah dinding tanah yang sewaktu-waktu bisa ambrol karna longsor.
Pernah seorang teman, Supri namanya, bertanya padaku dimana dia bisa melihat tempat terindah di Indonesia. Ku jawab, Negeri Senja, di daerah Purwakarta, akses menuju daerah Wanayasa atau Gunung Tangkuban Perahu. Akhirnya Supri penasaran dan mendatangi tempat yang kumaksud. Sepanjang jalan dia bertanya dimana kampung negeri senja itu, tapi setiap penduduk yang ditanyainya menggelengkan kepala. Tak ada satu pun yang tahu. Jelas saja Karna negeri senja adalah nama tempat yang kuciptakan sendiri. Negeri senja hanyalah sebuah tikungan tajam yang salah satu sisinya adalah tebing curam mengerikan. Bahkan aku sendiri tak tahu nama asli daerah itu.

***

Senja itu berwarna orange kali ini. Dari menit ke menit bentuknya berubah. Inilah yang aku suka dari senja. Dia kreatif. Bentuknya selalu berbeda-beda. Warnanya kadang merah, orange, kuning keemasan, ungu bahkan biru keunguan. Kameraku tak henti mengabadikannya. Mengabadikan senja yang meletup-letup dalam jiwaku.

Begitu hampir setiap hari. Aku tak berhenti berburu senja. Aku sudah menjadi gila: bolos kerja untuk sebuah perburuan senja.
Lia juga ikut-ikutan gila. Sama-sama tak waras. Kami memang gila. dua orang manusia gila karena senja. senja yang meletup-letup dalam kegilaan kami.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

perburuan senja kali inipun nihil
:(

Anonim mengatakan...

Hai ipunk..ktmu lg dg aq...:-) pembaca setia blogmu..hehe..iya mw ks komen dkt ttg cerita berburu senja di atas,mnrt gw..ceritanya lmyn bgs n bikin penasaran pgn tau apa c itu berburu senja..eh trnyata emang bnr2 berburu snja hehe..trus pas lu ijin ke spv utk ga msk dg alasan berburu snja..wah..bnr2 ajaib lu punk hihi..:-) gw ngebygn tampang si spv di tlp itu hehe..ok kembali lg ke ceritanya mnrt gw ceritanya romantis n lu mampu membuat cerita apa adanya,jujur..tanpa ada yg ditutupi..y ud segitu aj komennya punk..:-Pterus berkrya ipunk.!

adiz mengatakan...

hm..hm...hm...
pung, cerpen n novel dr dlu temanya senja, bisa diganti yg lain gak c...!!!
bikin cerita ttg gw kek gitu, ha..ha..
tenang ajah, ceritanya tetep OK kok, lanjutkan yua pak..!!!

Posting Komentar

Kasih komen ya temans...
Untuk temans yg tidak punya blog atau account google, pada bagian "Beri komentar sebagai", pilih aja Name/Url. Nama nya ketik nama kamu, url nya isi almt web, atau kosongkan saja...

Cari Ide di Blog ini

Regards, Ipung

Template by : kendhin x-template.blogspot.com